Rabu, 27 Januari 2010

Kajian Wacana

KAJIAN WACANA
*Hasan Busri*

6.1 PENDAHULUAN
6.1.1 Hakikat Wacana
Wacana yang dalam bahasa Ingris disebut discourse, merupakan rekaman peristiwa yang utuh tentang komunikasi. Biasanya wacana merupakan unit kebahasaan yang labih besar dari pada kalimat dan klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang lain. Atau dengan kata lain, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap; dalam hirarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk wavana yang utuh (novel, buku, inseklopedi, dan sebagainya), paragraph, kalimat/klausa. Atau kata yang membawa anamat yang lengkap.
Wacana merupakan suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik (atau lainnya). Wacana dapat juga dikatakan seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan kedaan suatu kepaduan atau rasa kohesi bagi pendengat atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh pendengar atau pembaca harus muncul dari cara pengutaraan wacana tersebut.
Peristiwa komunikasi yang berupa wacana, dapat dibedakan berdasarkan saluran yang digunakan ataupun berdasarkan hal yang dipentingkan. Berdasarkan sarana yang disalurkan ada wacana yang menggunakan bahasa lisan (spoken discourse) ada wacana yang menggunakan bahasa tulis (written discaurse). Berdasarkan hal yang dipentingkan ada wacana yang bersifat transaksional, jika yang dipentingkan isi komunkasi itu ada wacana yang bersifat interaksional, jika yang dipentingkan hubungan timbal balik.
Wacana lisan yang trasaksional bisa berupa pidato, ceramah,atau tuturan, dakwah, deklamasi, dan lain-lain. Wacana lisan yang interaksional bisa berupa percakapan, Tanya jawab, (antara dokter dan pasien, antara polisi dan tersangka, antara jaksa dan terdakwa/tertuduh, dan sebagainya), perdebatan, (dalam sidang DPR, diskusi, seminar) dan lain-lain.
Wacana lisan yang traksaksional bisa berupa interuksi, iklan, surat, pengumuman, novel, cerpen dan lain sebagainya. Wacana tulisan yang interaksional dapat berupa polemik, surat menyurat antara dua sahabat, kekasih, dan lain sebagainya.
Di samping itu, apa pun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (abdressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacan lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis penyapa adalah panulis sedang pesapa adalah pembaca.
Analisis wacana (discourse analysis) merupakan cabang linguistik (ilmu bahasa) yang dikembangkan untuk menganalisis ilmu kebahasaan yang lebih besar daripada kalimat atau klausa. Tarigan (1984:24) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka peristiwa komonikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau menganalsis suatau unit kebahasaan, analisis wacana tidak terlepas dari penggunaan piranti linguistil lainnya, seperti yang dimiliki semantik, sintaksis, fonologi, pragmatik, dan sebagainya.
Labih dari itu, analisis wacana dalam menganalisis tuturan berupa bahasa, agar sampai pada suatau makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan atau tulisan dalam wacana tulisan, banyak mengguanakan pola sosiolinguistik, yaitu cabang linguistik yang berupaya menelaah penggunaan bahasa dalam konteksnya. Oleh karena itu analisis wacana berupaya menginterpretasikan suatu tuturan yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu, sintaksis, maupun cabang ilmu bahasa lainnya.

6.1.2 Ruang Lingkup Kajian Wacana
Ruang lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap adalah keterkaitan dengan unsur laur teks. Dalam kaitannya dengan unsur luar teks, masalah yang dibahas meliputi (1) implikatur (implicature) yang berkaitan dengan konvensi kebermaknaan kata-kata dalam pertukaran tanggapan, (2) praanggapan (presupposition) yaitu anggapan dasar dan pola penautan proposisi dalam kalimat baik dihadirkan atau tidak untuk memahami suatau paparan bahasa, (3) referensi (reference), yaitu pengertian yang dikembangkan penutur dalam paparan bahasanya sesuai dengan hal yang diacu, (4) inferensi (inference) yaitu bentuk pengambilan kesimpulan oleh penganggap sewaktu mamahami suatu paparan bahasa.
Lingkup yang berkaitan dengan aspek tekstual antara lain meliputi: (1) ciri pengembangan topik dan temsisasi (2) ciri struktur informasi, (3) analsisis ciri sekuensi, (4) kesatuan unit struktur dan keselarasan relasi semantisnya, (5) prediksi tingkat keterterimaan untaian kalimat dalam teks, dalam suatau peristiwa komunikasi.
Dalam menguraikan butir masalah tersebut, ada anggapan dasar yang perlu diperhatikan, yaitu (1) realitas yang bersifat ganda, memiliki suatu hubungan yang bersifat abstrak dan holistik, (2) keberadaan suatu realistas selalu dikonsikan oleh tata aturan tertentu sehungga sebagai sistem realitas yang mungkin untuk dijelaskan, (3) kebermaknaan suatu realistas bukan ditentukan oleh unsur tertentu secara isolatip, malainkan oleh keseluruhan pembangun secara holisitk, dan (4) sebagai struktur reealitas dapat disegmentasikan unsur-unsurnya tanpa melepaskan diri ciri tautan dalam totalitasnya.

6.1.3 Peristilahan (Wacana dan Teks)
Ada dua peristilahan yang sering menimbulkan pengertian yang bermacam-macam. Kedua istilah tersebut adalah wacana (discaorse) dan teks (text). Kedua istilah tersebut perlu diuraikan secara jelas agar tidak menimbulkan interpretasi yang rancu. Pada satu sisi, wacana dan teks terkesan tidak ada perbedaan, tetapai dalam kenyataan pemakaian bahasa, kedua istilah itu memang berbeda.
Wacana lebih mengacu kepada keseluruhan unsur yang membangun perwujudan paparan bahasa dalam peristiwa komunikasi. Demgan demikian sebutan wacana bertalian dengan suatu sistem makro selain menunjukkan adanya hubugan sebab akibat, di dalamnya juga terdapat unsur-unsur yang hadir secara simultan dan memiliki hubungan secara interdependensi.
Teks adalah adalah wujud representasi dari wacana, wujud konkritnya selain dapat berupa bahasa lisan (spoken discourse) juga berupa bahasa tulisan (wraitten discaourse). Apabila tuturan lisan natural interlekutor ada dalam suatu interaksi, teks tertulis lazimnya tidak menampilkan adanya interaksi secara langsung. Apabila kita berangkat dari perspektif filsafa tlinguistik seperti yang menjadi dasar acuan filsafat Strukturalisme Praha maupun Tatabahsa Fungsional analisis wacana yang menjadi sasaran kajian adalah teks sebagai representasi wacana yang unsur-unsurnya hadir secara simultan.
Meskipun yang menjadi sasaran kajian dibatasi oleh teks, bukan berarti paparan bahasa itu didudukkan secara isolatif. Untuk menafsirkan makna serta memahami ciri aspek formalnya secara keseluruhan, penelaah secara isolatif masih harus menghubungkan teks dengan unsur-unsur lain secara makro. Misalnya, membedakan antara kohesi tekstual yang berkaitan dengan dengan pemerian ciri unsur dan bentuk relasi untaian kalimat dalam, teks serta koherensi wacana yang berdasarkan penerian ciri makna secara keselarasan hubungan antar unit semantisnya yang dihubungkan dengan dunia luar.
Ditinjau dari segi keberadaanya secara makro, teks merupakan wujud paparan bahasa yang mengacu pada dunia luar tertentu dan difungsikan oleh penutur untuk menyampaikan pengertian ataupun pesan tertentu kepada penanggap, teks berupa wahana penangkap pesan, karena seata-mata melalui paparan bahasanyalah penanggap dapat memahami pesan yang ingin disampaikan penutur. Pada sisi lain, teks itu sendiri juga merupakan unit sistem yang unsur-unsurnya ada dalam hubungan interdependensial, sehingga kata misalnyaa, tidak dapat dilepaskan dari struktur kata kalimat, begitu juga struktur kalimat tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang membangunnya.

6.1.4 Bahasa, Tindakan, Pengatahuan, dan Situasi
Bahasa, tindakan, pengatahuan, dan situasi dalam kenyataanya tidak dapat dipisahkan. Beberapa tindakan hanya dapat dibentuk hanya melalui bahasa (misalnya, permintaan maaf), sementara tindakan lai juga dapat dibentuk secara verbal dan non-verbal (misalnya, menakut-nakuti seseorang). Sementara itu, apabila kita mengetahui bagaimana suatau bahasa digunakan dalam interaksi sosial, akan jelas bagi kita bahwa komunikasi dengan menggunkan bahasa tidak akan berlangsung tanpa pengatahuan dan asumsi-asumsi di antara penyapa dan pesapa dan dan dalam bahasa tulis di antara panulis dan pembaca.
Di samping itu, komunikasi dengan bahasa biasanya berlangsung dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, dalam komunikasi antara bahasa dan situasi tidak dapat dipisahkan. Misalnya, komunikasi yang dilakukan seorang teman sejawat pada umumnya akan menyapa secara formal teman sejawat lain yang sedikit lebih senior, di depan bawahan mereka, di kantor. Namun apabila berjumpa di pasar, sapaan itu menjadi lain sama sekali, walaupun maksudnya hampir sama, yaitu mereka saling menyatakan kehadiran mereka dalam hubungan tertentu. Di pasar tentulah hubungan mereka lebih akrab daripada di kantor. Misalnya:

(1) Di kantor A. Selamat pagi, Pak!
B. Selamat pagi.
(2) Di Pasar: A. Wah, Mborong, Mas!
B. Ngantar ibu, belanja.
Demikian juga dalam situasi pidato, orang cenderung menggunakan kata-kata lelah sekali, bagus, segan dan sebagainya, sedangkan dalam pembicaraan santai di warung kopi oleh orang tua yang sama, mungkin akan digunakan kata-kata lebih mengena , seperti loyo, maut, sungkan, dan sebagainya. Sedangkan waktu marah orang mungkin akan menggunakan kata-kata seperti goblok, tidak becus, berengsek, bukan kata-kata seperti kurang pandai, tidak mampu, kacau seperti yang diucapakan oleh orang yang sama dalam situasi tidak marah.

6.1.5 Analsisis Wacana dan Linguistik
Analisis wacana merupakan cabagn linguistik. Dalam aplikasi penggunaan bahasa sehari-hari, teori linguistik, khususnya sintaksis, dijadikan salah satu dasar penggunaan bahasa. Sehingga dalam upaya menggurikan atau menganalis satu unit bahasa, analisis wacana tidak terlepas dari penggunaan piranti bahasa yang lain, seperti yang dimiliki oleh semantik, sintaksis, morfologi, fonologi, dan sebagainya.
Suatu hal yang menarik dari analisis wacana adalah kenyataan untuk selalu mempertimbangkan batas-batas linguistik, walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam memahami bahasa hendaknya mempertinbangkan unit-unit kebahasaan, terutama teori sintaksis dalam fenomena wacana, (misalnya, A menulis B dalam konteks C). Dalam hal ini seorang tentu ingin tahu tentang konteks tindakan yang mana yang dijadikan acuan di antara ketiganya. Apakah hal tersebut benar-benar linguistik? Ataukah dalam konteks sosial tertentu? Dan sebagainya. Namun demikian, linguistik tetap menjadi dasar dalam tindak tutur, walaupun bukan merupakan hal yang utama. Artinya pemahaman suatau wacana juga mempertimbangkan aspek bunyi (fonologi), morfologi, sintaksis, semantik, di samping aspek-aspek lain yang mengiringnya.


6.1.6 Analisis Wacana dan Sosiolinguistik
Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai bidang pengajian linguistik yang mempelajari ciri dan fungsi variasi bahasa serta hubungan antara penutur serta ciri dan fungsi itu di dalam suata masyarakat bahasa. Dalam hal ini masyarakat mempersyaratkan adanya manusia yang bersifat sosial; tidak mungkin ada manusia sosial tanpa bahasa segbagai alat sosialisasi dan begitu pula sebaliknya pun perilaku, yaitu tidak mungkin ada bahasa tanpa manusia sosial. Bahasa manusia selalu muncul dalam pemakaian, dalam konteks situasi. Oleh karena itu pengajian bahasa yang memadai harus memperhitungkan perspektif bahasa sebagai pengatahuan, yaitu apa yang diketahuai manusia dan prspektif bahasa sebagai tingkah laku sosial-bahasa dalam hubungannya dengan manusia yang bersifat sosial bahasa. Bahasa tidak saja membawa makna fungsional berdasarkan keperluan berbahasa, tetapi juga makna sosial yang menunjukkan keakraban, keinformalan, atau jawaban untuk menyatakan hormat.
Dalam perilaku sosialnya, manusia selalu sadar bahwa ia diperhatikan, ia menyadari bahawa tingkah lakunya itu dipandang atau dinilai oleh orang lain, dan bahwa ia selalu berhati-hati agar tindakannya tidak mengganggu hubungan dengan orang lain, bahkan ia menyesuaikan tingkah laku dan penampilannya dengan keadaan berdasarkan siapa yang sedang mendampinginya. Hal ini berlaku pula pada tindakannya dalam berbahasa. Orang akan mematuhi sosiolinguistik tertentu agar tidak mengganggu orang lain dengan mimilih ujaran yang sesuai dengan orang yang menjadi lawan bicarannya dan sesuai dengan situasi pembicaraan.
Apabila seseorang ingin memahami dan menggunakan bahasa tertentu, tidak cukup dengan memahami bahasa itu saja, melainkan juga perlu mempelajari masyarakat pemakainya serta kaidah-kaidah sosial yang banyak menentukan tingkah laku bahasa itu dalam interaksi sosial. Suatu ujaran yang sama dapat bermakna lain karena konteks sosialnya yang lain. Misalnya seorang ayah yang baru pulang dari kantornya, melihat meja di rung tamu yan kurang beres mengatakan:
(3) Siapa main-main di ruang tamu itu!
Bagi Imen pembantu rumah tangga, ujaran tu ditafsirkan:
(4) Bereskan ruang tamu ini!
Bagi sang istri ujaran itu merupakan peringatan baginya untuk senantiasa mengawasi putrinya yang masih kecil agar rajin belajar dan tidak main-main saja, sehingga ujaran di atas dimaknai:
(5) Ani tidak belajar ya, Bu?
Sedangkan Ani yang belum membereskan ruang tamu itu setelah memakainya bermain menafsirkan ujaran itu sebagai:
(6) Siapa saja yang memakai ruang tamu harus mengaturnya kembali supaya rapi.
Jadi pemahaman bahasa yang lengkap adalah pemahaman bahasa yang konteks sosialnya.

6.2 WACANA LISAN DAN TULISAN
Dalam suatu peristiwa komunikasi yang menggunakan suatu bahasa, seorang cenderung mengalami kesulitan dalam membedakan antara wacana lian dan tulisan. Wacan lisan tenunya memilii perbedaan dengan wacana tulisan, walaupun kita sering menjumpai wacana tulis yang dituliskan ataus ebaliknya, wacana lisan yang ditulis. Untuk keentingan kajian bahasa bahasa, wacana lisan dan tulis tidak dapat dapat disebut sebagai wacana tulisan, demikian juga wacana tulisan yang dilisankan, tidak dapak dapat disebut sebagai wacana lisan.
Wacana lisan cenderung diiringi oleh berbagai faktor termasuk faktor-faktor non-bahasa, sehingga wacana lisan cenderung pendek-penedk dan kurang lengkap, serta kurang gramatikal. Sebaliknya, wacana tulisan biasanya lebih lengkap dan lebih gramatikal, penuh informasi penjelas agar tidak disalahtafsirkan oleh pembaca. Apabila wacana lsian penuh dengan bentuk-benatuk informal, wacana tulisan lebih banyak menggunakan bentuk-bentuk baku, kecuali wacana yang memang disengaja oleh penulisnya untuk menonjolkan bentuk-bentuk informal untuk menimbulkan efek tertentu, seperti dialok dalam cerita pendek, atau novel, surat kepada keluarga dekat atau teman akrab, wacana yang mengungkapkan kelucuan, dan sebagainya.
Ada beberapa karakteristik wacana lisan yang dapat dibedakan dengan wacana tulisan. Karakteristik tersebut adalah sebgai berikut:
(1)Kalimat wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal) bila dibandingkan dengan wacana tulisan;
Wacana lisan berupa kalimat yang tidak lengkap, bahkan sering hanya berupa frasa;
Wacana lisan berisi penataan sub-ordinatif lebih sedikit, bila dibandingkan dengan wacana tulisan;
Dalam percakapan, kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berbentuk deklaratif aktif dan sedikit sekali yang berbentuk pasif.
(2)Wacana lisan jarang menggunakan tanda hubung (piranti kohesi) karena didukung oleh adanya konteks atau situasi penuturan;
(3)Wacana lisan cenderung menggunakan frasa benda yang panjang, sedangkan wacana tulisan tidak demikian;
(4)Kalimat-kalimat dalam wacana lisan menggunakan topik-komen, sedangkan wacana tulisan cenderung berstruktur subjek-predikat;
(5)Dalam wacana lisan, pembicara dapat mengubah struktur atau memperluas ekspresi yang kurang dianggap kurang tepat;
(6)Dalam wacana lisan, pembicara cenderung menggunakan kosakata yang betsifat umum;
(7)Dalam wacana lisan, pembicara sering mengulang bentuk sintaksis yang sama;
(8)Dalam wacana lisan, pembicara dapat menggunaka sejumlah ”filler” misalnya, saya pikir, Anda ketahui, jika Anda mengetahui apa yang saya maksud, dan sebagainya;
(9)Dalam ujaran informal jarang terjadi konatruksi pasif.
Agar pemahaman kita lebih jelas, tentang perbedaan bahasa tulisan dan bahasa tulisan, perhatikan contoh wacana lisan berikut ini.
Nenek bikin setumpuk peraturan yang harus gua jalani. Habis sekolah kagak boleh kemana-mana. Siang harus istirahat. Sore mandi, terus belajar. Jajan es atau kado-gadopun tidak boleh. Apalagi nonton pilem. ”jangan biasa jajan es”, kata nenek, di rumah kan banyak jajan. Dan selalu dikatakan, ”kau harus menabung” sebal rasanya, dengan petuah yang setiap hari mendengung di telinga ini. Anehnya, ayah juga ibu, juga kakak sama saja; mereka selaulu membela nenek. Pokoknya gua kesal deh gara-gara nenek datang ki rumah.
Bandingkan wacana tulisan berikut ini.
Dalam suatu penelitian lapangan tidak mungkin seorang peneliti dapat mengamati (observasi) seluruh jumlah subjek yang diteliti. Seorang peneliti yang harus mengamati seluruh kehidupan kaum gelandangan di kota tidak mungkin mempunyai waktu dan biaya yang cukup untuk mendatangi semua gelandangan yang ada di kota itu. Ia hanya dapat meniliti beberapa ratus orang di beberapa tempat saja. Bahkan, seorang peneliti yang harus menelliti suatu desa yang terdiri dari, misalnya 3000 penduduk, kalau ia hendak melaksanakan penelitiannya tersebut secara mendalam, tidak mungkin dapat mengamati, mewawancarai dan mengetes ketiga ribu orang itu. Sudah baik kalau ia meneliti 300 orang diantranya saja. Dengan demikian, sensus penduduk yang diadakan di Indonesia pada tahuan 1971 dilakuikan menyeluruh hanya mengenai tiga variasi saja, yaitu jumlah jiwa, umur,dan seks; sedangkan untuk data penduduk yagn lebih mendalan, seperti pekerjaan, pendapatan tingkat pendidikan, agama, dan mobilitas, hanya diadakan dengan mengambil bagian-bagian kecil dari seluruh penduduk di beberapa tempat saja. Bagian-bagian dari keseluruhan penduduk di beberapa tempat saja. Bagian-bagian kecil dari keseluruhan (oleh para ahli statistik disebut populasi atau universe) yang menjadi sesungguhnya suatu penelitian ituah yang disebut sampel.
Dikutip dari Metode penelitian masyarakat dalam Dendy Sugono 1999

Walaupun demikian terdapat pula wacana tulisan yang bentuknya sangat mirip dengan bahasa lisan. Wacana lisan tersebut banyak dijumpai di dalam advertensi, label berbagai hasil obat-obatan, dan makanan, pengumuman, serta peringatan yang dipasang di tempat tertentu. Perhatikan beberapa contoh berikut ini
(1)Kocok dulu sebelum diminum.
(2)Hati-hati banyak anak.
(3)Tenang ada ujian.
(4)Ngamen gratis.
Ujaran (1) terdapat di dalam label suatu obat batuk. Ujaran tersebut merupakan intruksi kepada pemakai obat agar mengocok botol yang berisi obat batuk tersebut sebelum obat batuk itu diminum. Dalam ujaran (1) obat batuk ini tidak ditulis. Ujaran (2) merupakan peringatan kepada pengendara kendaraan bermotor supaya berhati-hati, tidak ngebut, sebab di kawasan tersebut banyak anak kecil yang sedang bermain-main atau berlalu lalang di jalan. Bagi petugas KB, peringatan itu lucu kedengarannya, sebab sudah hati-hati tetapi ternyata masih banyak masih banyak anak. Ujaran (3) juga diterima sebagai peringatan supaya orang-orang yang berada di dekat tempat itu tidak gaduh dan bukannya suatu inormasi, bahwa di tempat itu tenang bahwa ada ujian. Dan ujaran (4) dipahami oleh para pengamen untuk tidak ”ngamen” di tempat tersebut, sebab tidak akan mendapatkan imbalan apa pun.
Apabila wavana lisan dalam bidang tertentu mengalami pemendekan dan penghilangan pada bagian tertentu akan lebih hebat lagi. Hal ini terjadi karena wacana lisan banyak dipicu oleh beberapa faktor yang memungkinkan penghilangan itu, termasuk misalnya situasi dan suasana di tempat peserta ujaran berintegrsi, hubungan pribasi sehingga banyak pengatahuan yang dipahami bersama, sehingga banyak hal yang dapat diparadugakan, variasi bahasa yang digunakan dengan variasi tertentu, dan berbagai piranti para linguistik. Misalnya, seorang yang merasa sakunya digerayangi oleh tukang copet, jika ia memiliki keberanian yang cukup untuk mengucapkan satu patah kata. Dengan intonasi tertentu, seperti contoh berikut ini.
(5)Copet!
Pada anggota satpam dan orang-orang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab jawab terhadap keamanan lingkungan segera bertindak untuk menangkap si pencopet.

6.3 KONTEKS SITUASIONAL DALAM WACANA
6.3.1 Hakikat Konteks Situasional
Makna suatu tuturan salam suatu peristiwa komunikasi, dapat dikatakan benar jika diketahui siapa pembicarannya, siapa pendengarnya, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, suatu peristiwa komunikasi akan berfungsi dengan baik jika terjad pada konteksnya. Konteks dalam hal inipemegang peranan penting dalam anaisis wacana. Singkatnya pengatahuan analsis tentang usur-unsur konteks akan memudahkan seseorang dalam menginterpretasikan isi dan bentuk wacana. Yang dimaksud konteks dalam hal ini adalah segala sesuatu yang ada disekeliling teks, seperti pembicara, pendengar, situasi, tempat, topik pembicaraan, waktu, saluran, dan bentuk penyampaian. Berbeda salah satu di antaranya akan berbeda pula cara atau bahasa atau makna tututan yang disampaikan.

6.3.2 Macam-macam Konteks dalam Wacana
Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu; (1) konteks fisik (physical cantex) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis (epistemic conteks) atau latar belakang pengatahuan pengatahuan yang sama-sama diketahuai oleh pembicara ataupun pendengar; (3) konteks linguistil (linguistics contex) yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului suata kalimat atau tuturan tertentu dalam tuturan komunikasi; (4) kontaks sosial (sosial contex) yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antar pembicara (penutur) dengan pendengar (Syafi’e dalam Lubis, 1993).
Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunkasi. Oleh karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan cermat isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar. Pertama, mempertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik (3), karena dengan itu kita bisa memahami dasar suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud pamakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunkasi dengan baik. Namun pengatahuan tentang struktur bahasa dan wujud pamakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun pengatahuan tentang struktur bahasa itu saja jelas tidak cukup. Ini harus dilengkapi pengatahuan konteks fisiknya (1) yaitu dimana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan dan begitu juga bagaimana tindakan pembicara dalam suatu peristiwa komunikasi.
Ditambah lagi pengatahuan tentang konteks sosial (4) yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan sosialnya. Dan yang terakhir harus dipahami pula hubungan epistemiknya (2), yaitu pemahaman atau pengatahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar maupun pembicara. Kalau si pembicara mengemukakan (x) umpamanya, maka komunikasi akan macet, seperti kalau kita bicarakan tentang kalimat umpamanya, dengan anak yang baru masuk SD tentu komunikasi akan macet, karena si pendengar (anak tersebut) tidak memahami konteks epistemik tersebut.

6.3.3 Ciri-ciri Konteks Situasi
Sudah kita bicarakan bahwa dalam tiap-tiap peristiwa percakapan (tutur) itu selalu terdapat faktor-faktor yang mengambil peranan dalam peristiwa itu seperti penutur, lawan bicara, pokok pembicaran, tempat bicara, dan lain-lain. Si pembicara akan memperhitungkan dengan siapa ia berbicara, tentang apa yang dibicarakan, dimana pembicaraan berlangsung, kapan peristiwa terjadi, serta bagaimana peristiwa pembicaraan, dan lain-lain yang akan memberi warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa itu disebut speech event atau peristiwa tutur.
Peristiwa semacam itu jelas terlihat pada suatu diskusi, misalnya disitu jelas akan terlihat (1) tempat diskusi, (2) peserta diskusi, (3) suasana diskusi, (4) tujuan diskusi, (5) aturan diskusi, (6) ragam diskusi, dan faktor lain yang terdapat dalam diskusi.
Hymes (dalam Lubis, 1993) mengemukakan adanya faktor-faktor lain yang menandai terjadinya peristiwa itu dengan singkatan SPEAKING, yang masing-masing fonem merupakan faktor yang dimaksudkan.
S
Setting atau scence, yaitu tempat bicara atau suasana bicara (ruang diskusi atau suasana diskusi)
P
Participant, yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi adalah seluruh peserta diskusi.
E
End atau tujuan, yaitu tujuan akhir diskusi.
A
Act, yaitu suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang menggunakan kesempatan bicarannya.
K
Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam penyampaian pendapatnya .
I
Instrument, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya, lisan, tertulis, lewat telpon dan sebagainya.
N
Norm, atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh tiap-tiap pembicara dan pendengar
G
Genre, yaitu jenis kegiatan diskusi yang memiliki sifat-sifat lain dari jenis kegiatan tutur yang lain.
Dalam bukunya yang lain Hymes (dalam Lubis; 1993), mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relevan itu adalah: (1) addressor (pembicara), (2) address (pendengar), (3) topik pembicaraan, (4) seting (waktu atau tempat), (5) code (dialek dan gaya penuturan), (6) message form atau bentuk pesannya (debad, diskusi, seremoni agama), (7) event (kejadian).
Di bawah ini, akan kita bicarakan ciri-ciri itu dan kita akan perlihatkan betapa pentingnya faktor itu dalam suatau peristiwa komunikasi.
(1) Pembicara
Mengetahui si pembicara pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasikan pembicaraannya. Umpamanya saja seseorang mengatakan ”operasi harus dilakasanakan”. Kalau kita ketahui bahwa si pembicara adalah dokter, bahwa tentu kita akan faham bahwa yang dimaksud operasi adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika yang berbicara itu adalah ahli ekonomi, kita akan faham bahwa yang dimaksud dengan operasi itu adalah operasi di bidang ekonomi seperti droping beras ke pasar dari pemerintah untuk menyetabilkan harga, dan bukannya operasi terhadap hewan atau manusia.
Kita lihat bahwa kalimat yang begitu pendek mempunyai interpretasi dalam bentuk banyak berdasarkan pembicaraannya. Lain pembicara lain pula artinya.
Kalimat ”Operasi harus dilakukan segera” akan berarti
(1)Pembedahan (pembicara dokter)
(2)Droping bahan makanan ke pasar (pembicara ahli ekonomi)
(3)Pencurian, perampokan (pembicara penjahat)
(4)Razia (pembicara polisi)
(5)Mencari mangsa (pembicara pramuria)
Jadi kelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsirkan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicarannya, maka akan sulitlah menebak kalimat-kalimat tersebut.
(2) Pendengar
Kiepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan mengetahui si pendengar, terhdap siapa ujran tersebut ditujukan akan memperjelas makna ujaran itu. Berbeda penerima ujran itu, akan berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.
Cobalah perhatikan tuturan berikut ini:
(1)Tempat itu jauh sekali (kira-kira 100 km)
(2)Jangan angkat, itu berat (kira-kira 5 kg)
Pendengar atau orang yang diajak berbicara di sini tentulah seorang anak yang masih kecil, berumur 6-7 tahun. Kalau yang dajak berbicara itu berumur 20-30 atau orang dewasa, jelas pengertian jauh dan berat dalam pengertian tersebut, bukannya 100 km atau berat 5 kg, tetapi mungkin 50 km dan 70 kg.
(3) Topik Pembicaraan
Sama pentingnya dengan pembicara adalah topik pembicaraan. Dengan mengtahui topik pembicaraan dengan mudahlah bagi seorang yang pendengar atau seorang yagn membaca untuk memahami makna pembicara atau tulisan. Namun dalam kehidupan sehari-hari apa yang dimaksud dengan topik sering sangat kompleks sehingga para ahli wacana menamakannya kerangka topik. Berbicara tentang pembangunan daerah, misalnya, orang bisa berbicara tentang pembangaunan jalan, gedung, organisasi masyarakat, kedisiplinan berorganisasi, pembangunan di bidang mental dan sebagainya. Peserta ujaran di dalam suatu interaksi dengan mengunakan kerangka topik atau tidak, selama proses interaksi tersebut bernegosiasi tentang topik yang mereka ajukan. Mungkin mereka berakhir dengan suatau topik menarik untuk dibicarakan bersama atau berhenti pada garis besar yang masih terangkum di dalam kerangka topik.
(4) Saluran (channel)
Di samping partisipan dan topik pembicaraan, saluran (channel) juga sangat penting menginterpretasikan makna ujaran. Saluran yang digunakan; tulisan, lisan, isyarat, kentongan, telegram ,dan sebagainya. Kebiasaan orang Indonesia ialah mereka selalu berhati-hati apabila mereka menyampaikan berita secara tertulis. Orang Amerika yang menulis surat dari teman mereka, orang Indonesia, sering terkejut karena keformalam surat-surat mereka. Orang Amerika mengira bahwa teman-teman orang Indonesia telah berubah, tidak akrab lagi, bukan teman seperti bergaul sebelumnya dan sebagainya.
Pamilihan saluran pada suat peristiwa komunikasi tentu bergantung kepada beberapa faktor, kepada siapa ia berbicara, dalam situasi yang bagaimana (dekat atau jauh). Kalau dekat tentu lebih baik melalui saluran lisan, tetapi kalau jauh tentulah dengan tulisan atau telegram. Demikian juga kalau suatu yang hendak disampaikan harus dirahasiakan, dan tidak boleh didengar oleh orang lain tentulah sipenyampai informasi itu akan berbisik, dan sebagainya.
(5) Kode (Code)
Kalau saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode yang dapat dipilih adalah suatau dialek bahasa itu. Atau bisa juga dengan memakai salah satu register yang paling tepat untuk hal itu. Seseorang yang mengungkapkan isi hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan merasa lebih bebas, akrap, dan mudah berkembang ke arah hubungan pribadi. Di beberapa daerah termasuk Jawa Timur seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia ketika disapa dalam bahasa daerah pastilah ada perasaan enggan, hormat, dan sebagainya pada dirinya sehingga ia memilih kode formal.
(6) Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah tepat, kerena bentuk pesan ini bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada si pendengar, dengan situasinya. Menyampaikan tentang ilmu pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Seseorang yang pandai bergurau, dapat menyampaikan berita penting sehingga benarr-benar diterima sebagai berita. Di Jawa Timur terdapat kebiasaan di kalangan sementara orang yang pandai menyampaikan isi hati mereka lewat parikan. Di tempat lain ada orang yang pandai menyampaikan pesan-pesannya lewat khotbah dan ada pula yang lewat drama, puisi, atau lewat surat-surat cinta dan sebagainya.

(7) Peristiwa (event)
Peristiwa tutur tentu sangat beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan `itu sendiri. Setiap peristiwa itu akan berbeda cara penuturannya karena peristiwa menghendaki tutur yang tertentu. Peristiwa tutur seperti wawancara akan berbeda dengan peristiwa tutur di pengadilan antara hakim dengan terdakwa. Suatu pengajian misalnya, dapat berisi antara lain suatu khotbah yang diselingi lelucon. Suatu arisan oleh 0bu-ibu yang terhormat bisa diisi pameran kekayaan, carai menantu, atau transaksi tertentu.
(8) Tempat atau Waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan hubungan antara keduannya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memberikan makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu berlangsung, di pasar, di kantor, dan lain-lain. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung, pagi hari, siang hari, malam hari, suasana santai, resmi, panas, tegang, dan sebagainya.
Salain ciri konteks, sebagaimana diuraikan di atas, nada pembicara, misalny serius, sinis, sarkastik, rayuan, dan lain-lain, juga menjadi pertimbangan dalam analisis wacana (konteks).
Perhatikan tuturan berikut ini.
(1)Mas, di sini ada ujian.
(2)Kopi dua, pisang goreng tiga, onde-onde satu.
(3)Meja bundar di atur di depan, yang panjang di belakang dan samping, jangan lupa memasang taplak meja.
(4)Maaf Pak, buku Bapak sudah saya kembalikan, Inu yang menerima kemarin.
Ujaran (1) disampaikan oleh dosen muda kepada sekelompok mahasiswa yang bergerombol di dekat ruang ujian. Ujaran (2) Merupakan traksaksi yang terjad di warung kopi. Ujaran (3) disampaikan ketua KTU kepada para pegawai yang sedang menata, meja, kursi untuk suatu pesta perpisahan. Ujaran (4) disampaikan kepada mahasiswa kepada dosennya. Bentuk bahasa, cara penyampaiannya, dan makna yang tersurat maupun tetsirat dapat dipahami dengan siapa peserta ujarannya, bagaimana hubungan mereka, dan sebagainya.
Suatu wacana dapat diinterpretasikan maknanya denga bantuan konteks tersebut. Biasanya kombinasi antara dua dan tiga konteks yang menonjol sudah mampu menginterpretasikan suatau wacana dengan baik. Berikut ini contoh wacana yang dipetik dari cerita Seri Lupus berjudul Dong Lupus (Gramedia, Jakarta, 1998).

(5)Boim terharu. Pagi itu iua menerima jawabannya atas ajakannya nonton kemarin sore. Surat itu diberikan kepada pembantu Mia ketika Boim mau berangkat ke sekolah: ”Bang Boim yang kece........ Bur got”. Setelah diteliti, ternyata Mia emang ngak punya acara nanti sore. Jadi kita bisa nonton. Jemput ya jam setengah tujuh. Salam manis Mia.

Kutipan tersebut diambil roman picisan gaya baru yang sangat laris. Konteksnya tertulis. Namun, kuitipan itu mengimplikasi kepada pembaca bahwa tulisan setelah titik dua itu adalah surat dari Mia kepada Boim. Karena bahasanya itu sangat informal maka gaya bahasanya sangat mirip dengan variasi bahasa lisan. Adapun bagian atas sebelum titik dua, nampak lebih formal, yang disampaikan oleh pembawa berita. Kacuali saluran, kutipan di atas juga dapat dilihat dari konteks kode yang digunakan. Dari pilihan kosa-kata dan susunan strukturnya, dapat dinyatakan bahwa bagian atas agak bersifat agak informal. Selanjutnya kutipan tersebut dapat dilihat dari konteks bentuk isi pesan. Bagian bawah kutipan itu berarti jawaban pengiyaan dari seorang gadis kepada kawan barunya, seorang pemuda. Nampaknya gaya bahasa para remaja saat itu seperti yang tertulis itu. Dari bentuk pesan yang ada, nampaknya ada keakraban antara Mia dan Boim, sedangkan keakragan penulis dan pembaca tidak seakrab mereka.


6.4 KO-TEKS, KONTEKS, DAN TEKS DALAM ANALISIS WACANA
6.4.1 Hakikat Ko-teks.
Ko-teks menurut (Cooks, 1994) adalah hubungan antar wacana yang merupakan lingkungan kebahasaan yang melingkupi suatu wacana. Dengan begitu makna ujaran ditentukan oleh teks sebelum dan sesudahnya. Ko-teks ini dapat berwujud ujaran, paragraf, atau wacana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ko-teks adalah konteks yang bersifat fisik, yakni konteks lingkungan. Koteks suatu kata adalah kata-kata lain yang digunakan di dalam frasa atau kalimat yang sama. Koteks mempunyai pengaruh yang kuat dalam penafsiran makna.
Mey (1993) mendefinisikan ko-teks sebagai sebuah kalimat (tunggal ataupun ganda) yang merupakan bagian dari teks yang (kurang lebih secara langsung) mengelilinginya. Ko-teks dari tuturan semacam ini tidak memadai untuk memahami kata-kata, kecuali jika mencakup sebuah pemhaman dari tindak-tindak yang terjadi sebagai bagian dan hasil dari kata-kata tersebut. untuk memahami tingkah laku linguistik orang, kita perlu mengetahui segala hal tentang penggunaan bahasa mereka; yaitu, kita harus melihat lebih jauh dari sekedar ko-teks tuturan dan memperhatikan keseluruhan lingkungan linguistik ke dalam pandangan kita. Hal ini berarti bahwa kita harus memperluas visi kita dari ko-teks menjadi konteks: Yaitu, keseluruhan dari lingkungan (bukan hanya linguistik) yang mengelilingi produksi bahasa.
Pembicaraan mengenai koteks dan konteks terkait dengan pembicaraan mengenai makropragmatik. Adapun cara untuk menjelaskan hal ini adalah sebagaimana dinyatakan oleh Mey (1993) sebagai berikut.
Pertama adalah cara yang ekstensional dengan sekedar memperluas cakupan dari unit-unit yang kita lihat: bukanya mempelajari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang terisolasi, kita mempertimbangkan kalimat-kalimat dan tuturan-tuturan yang sama tersebut untuk ditempatkan dalam konteks yang seharusnya menjadi tempat kalimat dan tuturan tersebut, dan dari mana kalimat dan tuturan tersebut dipilih pada awalnya untuk mengilustrasikan poin (tujuan) yang dibuat.
Hal ini dapat dipakai dalam dua cara: baik sebagai perluasan dari cakupan tuturan yang menghasilkan wacana (teks): dengan cara ini seseorang mendefinisikan ko-teks. Atau, sebagai alternatif dan tambahan, kita dapat memperhatikan tuturan tersebut dalam ‘habitat’ alaminya, jadi dapat dikatakan: dalam kasus yang kedua, kita berurusan dengan konteks yang lebih luas dimana orang menggunakan bahasa, khususnya untuk tujuan percakapan.
Cara lain untuk membahas ‘makropragmatik’ adalah dengan menggali pada dasar internasional dari pragmatik, dengan memberikan penekanan pada faktor-faktor yang meskipun tidak diekspresikan secara eksplisit dalam setiap teks, masih menentukan bentuk dari teks tersebut dalam cara yang sulit untuk dianalisa, atau bahkan dilihat dengan mata telanjang.
Pada dasarnya, isi dari pertanyaan dan permasalahan adalah munculnya keingintahuan yang terus menerus tentang ‘bahasa siapakah’ yang kita tuturkan, dan mengapa (Mey, 1985). Munculnya pertanyaan ini membawa pada dimulainya investigasi pada parameter sosietal dari penggunaan bahasa. Selain itu, permasalahan yang dibahas di sini harus dibingkai melawan latar belakang pemahaman yang lebih dalam dari konsep-konsep yang sudah familiar seperti peraturan, tindak tutur, konteks dan sebagainya. Pertanyaan seperti ini akan diperlakukan dengan seharusnya dalam topik metapragmatik yang dipakai secara luas sebagai: ‘refleksi pada penggunaan bahasa oleh para pemakai bahasa’.

Hakikat Konteks
Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti : sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui karakterisasi bahasa yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori Halliday, pengertian harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday “something” di atas diolah menjadi “sesuatu yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks sosial (Halliday, 1978; Wirth, 1984) yang diidentifikasikan atas ranah, tenor, dan modi.
Ranah merupakan rekaman tentang peristiwa apa yang terjadi, yaitu segala peristiwa atau tindak sosial yang sedang berlangsung pada pengalaman atau benak. Aspek itu menggambarkan peristiwa apa yang terjadi yang melibatkan para penutur atau partisipan sebagaimana dinyatakan atau direalisasikan berupa unsur-unsur status, proses, pelaku, tujuan, lokasi, dan waktu. Tenor merupakan unsur partisipan yang menyatakan interpersonal dan status yang direalisasikan dalam pilihan-pilihan piranti wacana. Dalam tenor itu, hubungan interaksi yang signifikanlah yang diamati. Sedang modi adalah realisasi yang diungkapkan oleh teks secara keseluruhan sebagai tindak sosial, baik bersifat lisan dan tulisan, monolog atau dialog.
.Leech (1983) menyatakan konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadai sebuah tuturan. Selanjutnya Schiffrin (1994) membedakan antara kontek dengan teks dengan menjelaskan bahwa teks merupakan isi linguistik dari tuturan-tuturan, arti semantik dari kata-kata, ekspresi, dan kalimat. Teks juga merupakan sistem kebahasaan yang terdiri atas beberapa komponen yang saling berhubungan dan masing-masing komponen tersebut juga mempunyai otonomi. Adapun konteks adalah “pengetahuan”, “situasi”, dan “teks”. Konteks sebagai pengetahuan berkaitan dengan kompetensi komunikasi; konteks sebagai situasi berkaitan dengan kompetensi sosial, budaya, dan strategi; dan konteks sebagai teks berkaitan dengan keberadaan unsur-unsur teks yang bisa dipisahkan, diartikan, daan dimaknai.
Konteks sebagai pengetahuan dan situasi memandang ujaran sebagai suatu unit kejadian teertentu yaang bersifat tertutup, dan ujaran sebagai suatu bentuk komunikasi yang selalu baru, dan bergantung pada situasi dan masyarakatnya. Paandangan pertama berkaitan dengan kemampuan penutur dalam menggunakan konvensi yang digunakan dalam bahasanya, sedangkan pandangan kedua berkaitan dengan kemampuan penutur untuk selalu berkreasi dalam menyusun tuturannya sesuai dengan situasi dan budayanya.
Cook (1994) meembedakan pengertian konteks menjadi dua yaitu, konteks dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam pengertian sempit, konteks mengacu pada faktor di luar teks. Sedang dalam pengertian luas, konteks dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yaang relevan dengan ciri dunia dan ko-teks. Pengetahuan yang relevan dengan ciri dunia berkaitan dengan situasi fisik, situasi sosial dan budaya, penanggap, dan skemata mereka, dan teks lain (interteks).
Konteks situasi paling baik dipakai sebagai bentuk skematis yaang sesuai untuk diterapkan pada peristiwa-peristiwa bahasa. Konteks situasi bagi kajian linguistik menurut Brown & Yule (1986) menghubungkan kategori-kategori yaang berikut. (1) ciri-ciri yang relevan dari para peserta: orang-orang, kepribadian pada perbuatan verbal dan nonverbal paara peserta; (2) tujuan-tujuan yang relevan; dan (3) akibat perbuatan verbal.
Hymes (dalam Brown & Yule, 1986) menegaskan bahwa konteks dapat menunjang jarak perbedaan makna-makna, konteks dapat menyingkirkan makna tertentu dari sebuah kalimat, begitu juga sebaliknya konteks dapat mendatangkan makna tertentu bagi sebuah kalimat. Hymes juga memberikan ciri-ciri konteks yang meliputi ciri-ciri berskala besar. Misalnya: (1) channel (saluran), berupa wicara, tulisan, atau tanda-tanda, (2) kode meliputi bahasa, dialek, dan gaya bahasa, (3) bentuk pesan berupa berupa obrolan, perdebatan, khutbah, dongeng, soneta, surat cinta, dan sebagainya, (4) peristiwa (event) yaang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti upacara kebaktian di gereja, khotbah di masjid, dan (5) tujuan peristiwa komunikasi.
Lewis (dalam Brown dan Yule, 1986) menyajikan kordinat-kordinat tertentu yang merupakan paket faktor yang relevan dan yang menandai konteks yang dipakai untuk menilai kebenaran maksud sebuah wacana yaitu:
(1)Possible –world (kemungkinan), contoh: migh be, could be, supposed to be, atau are.
(2)Time (waktu), contoh: today, next week.
(3)Place (tempat), contoh: here it is.
(4)Penutur, contoh: I, me, we, our.
(5)Audience (hadirin), contoh: you, yours, yourself.
(6)Objek yang ditunjuk, contoh berupa frase-frase demonstratif this, those, dan seterusnya.
(7)Wacana terdahulu, contoh: the latter, the aforementioned.
(8) Pembagian, contoh: kelompok benda, urutan benda.

6.4.3 Fungsi, Konteks dan Pragmatik
Di dalam teori sosiosemantik (Halliday, 1978) konteks dan fungsi merupakan dua konsep abstrak yang berperan mengungkapkan hakikat realita sosial melalui wahan bahasa. Perbedaan teori ini dengan teori konteks yang lain ialah bila misalnya teori Malinowski, Firth dan Hymes (dalam Halliday & Hasan, 1989) merupakan cara memandang bahasa dilihat dari struktur kognitif atau dari luar bahasa dan bertujuan memberikan eksplanasi yang non-linguistik, teori Halliday itu justru melihat realita sosial secara linguistik, maksudnya Halliday melihat fenomena penggunaan bahasa dalam segala aspek interaksi sosiosemantik bahasa dan konsekuensinya.
Konteks adalah totalitas realita yang mengikuti tuturan. Fungsi merupakan pengejawantahan konteks lewat wahana bahasa, sedang pragmatik merupakan prinsip yang mengatur pemakaian ujaran dalam mencapai tujuan komunikasi yang sessuai dengan situasi anta partisipan, proses, dan lingkungan komunikasi.
Terdapat kaitan yang erat antara konteks dan fungsi dalam wacana. Menurut asumsi pendekatan sosiosemantik, subjek merekayasa piranti konteks menjadi fungsi-fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Fungsi ideasional merupakan fungsi metabahasa yang mengolah konteks pengalaman empirik dan logis menjadi ujaran. Fungsi interpersonal merekayasa konteks hubungan peran, status dan hubungan sosial pemakai bahasa dalam pemilihan unsur-unsur leksis yang tepat ragamnya. Fungsi tekstual menata seluruh struktur informasi sehingga mudah dicerna, jelas, hemat, dan efektif.

6.4.4 Hubungan Teks dan Konteks
Halliday & Hasan (1985) menyebutkan bahwa teks adalah bahasa yang sedang digunakan dan terikat dengan konteks situasi tertentu. Sedang Brown & Yule (1984) menyebutkan bahwa teks adalah rekaman kebahasaan yang utuh dalam suatu peristiwa komunikasi. Ciri keutuhan teks itu terletak pada pertimbangan berbagai unsur yang terlibat dalam tindak komunikasi pada proses pemaknaan rekaman kebahasaan berlangsung, unsur-unsur yang terlibat, fakta-fakta yang relevan dalam ujaran dan itulah yang disebut konteks.
Halliday & Hasan (1985) membedakan konteks yang melatari suatu teks atas konteks situasi, dan konteks kultural. Konteks situasi merupakan keseluruhan / totalitas lingkungan terdekat teks baik verbal maupun nonverbal. Sedang konteks kultural merupakan keseluruhan latar belakang sistem kultural (budaya, sosial, dan artefak) sebagai pengetahuan bersama, pra-anggapan bersama, atau pengetahuan ensiklopedi partisipan suatu teks/wacana.
Dari sudut pandang teks sebagai suatu produk latar belakang yang lebih luas ini berpengaruh pada analisis wacana untuk mengapresiasi latar, tempat, temporal, sosial, spasial, aksional, dan relasional sebagaimana nampak dalam konteks situasi. Sedang dari sudut pandang teks sebagai suatu proses, konteks berpengaruh pada bagaimana pemakai bahasa memilih, menentukan, dan menampilkan medan, pelibat, serta organisasi suatu teks/wacana.
6.4.5 Masyarakat dan Konteks dalam Analisis Wacana
Tingkah laku para ahli linguistik merupakan tingkah laku sosial. Orang berbicara karena mereka ingin bersosialisasi, dalam pengertian yang terluas dari kata-kata yang mungkin: baik untuk kesenangan, atau untuk mengekspresikan diri mereka sendiri kepada orang lain, atauuntuk beberapa tujuan yang ‘serius’, seperti membangun rumah, membuat kesepakatan, memecahkan permasalahan dan sebagainya.
Kenyataan atau fakta dasar ini mengimplikasikan dua fakta dasar lainnya yang setara:
Pertama, adalah fakta bahwa kita harus melihat apa yang benar-benar orang katakan ketika mereka bersama, ketika mereka bersosialisasi (atau: mengekspresikan diri mereka sebagai makluk sosial); dan
Kedua, fakta bahwa setiap pemahaman bahwa para ahli linguistik dapat berharap untuk mendapatkan apa yang terjasi di antara orang-orang yang menggunakan bahasa didasarkan pada, secara unik dan diperlukan, sebuah pemahaman yang benar dari konteks yang menyeluruh di mana interaksi linguistik terjadi. Misalnya saja kita menyaksikan interaksi berikut ini antara dua orang ‘konversasional’ (contoh dari Levinson 1983):
A: Saya memiliki seorang anak laki-laki berusia 14 tahun
B: Mmm, nggak apa-apa
A: Saya juga memiliki seekor anjing
B: Oh maafkan saya
Di permukaan, hal ini merupakan percakapan yang aneh.pada kenyataannya, hal ini tidak mengandung makna sama sekali, kecuali jika kita kebetulan mengetahui bahwa konteksnya adalah: A mencoba untuk menyewa sebuah flat, dan menyebutkan fakta bahwa dia mempunyai seorang anak. Pemilik flat tidak keberatan dengan anak-anak, tapi ketika dia mendengar bahwa calon penyewa tersebut juga memiliki anjing, kerna itu dia mengindikasikan prospek A untuk menjadi penyewa agak suram, dengan mengatakan ‘maafkan saya.’
Sekarang jika seseorang bertanya sebenarnya si pemilik flat meminta maaf untuk apa, jelas bukan karena fakta bahwa A memiliki anjing. Namun lebih karena, hal ini berkaitan dengan fakta bahwa peraturan untuk flat tersebut tidak mengijinkan penghuninya untuk memelihara binatang kesayangan; jadi A harus memilih untuk melepaskan/meninggalkan binatang kesayangannya, atau dia harus melepaskan kesempatan untuk menyewa flat. Dalam kasus yang pertama, pemilik flat tersebut meminta maaf untuk A, sedangkan untuk kasus yang kedua dia minta maaf untuk diri sendirinya juga, jika A sepertinya merupakan calon penghuni/penyewa yang baik.
6.4.6 Masyarakat dan Wacana
Mey (1993) menekankan pentingnya konteks sosial pada penggunaan bahasa. Konteks semacam ini biasanya memiliki presuposisi akan keberadaan suatu masyarakat tertentu, dengan berbagai nilai, norma, peraturan, dan undang-undang yang eksplisit, dan dengan semua kondisi kehidupannya yang tertentu: ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Semua faktor ini secara bersama-sama sering dirujuk dengan ekspresi metafora: ‘susunan/struktur masyarakat’.
Istilah ini berfungsi untuk mengindikasikan bukan hanya konteks dapat dimengerti secara langsung dari sebuah percakapan, wawancara kerja konsultasi kesehatan dan sebagainya, namun juga kondisi-kondisi yang tersembunyi yang mengatur situasi yang sedemikian rupa dari penggunaan bahasa. Bagaimana orang-orang menggunakan bahasa mereka berkaitan dengan konteks-konteks sosial mereka? Seberapakah tingkat kebebasan yang mereka nikmati dalam penggunaan bahasa mereka, dan apa batasan yang membatasi penggunaan tersebut?
Wacana berbeda dari teks dalam hal bahwa wacana mencakup lebih dari sekedar teks, yang dipahami sebagai sebuah kumpulan kalimat; wacana adalah hal yang membuat ikatan-teks konteks, dalam pemahaman istilah yang terluas. Tapi, dalam pemahaman istilah ini, wacana juga berbeda dari percakapan. Percakapan adalah satu tipe tertentu dari teks, yang diatur oleh peraturan-peraturan penggunaan khusus. Peraturan-peraturan ini mengatur sebuah penggunaan bahasa – sosial – yang menyatakan bahwa diantara fungsi-fungsinya yang terpenting: percakapan adalah hal yang dilakukan orang secara paling alami, dilakukan secara sosial, dan dilakukan sepanjang waktu. Percakapan adalah bentuk penggunaan bahasa yang paling tersebar luas dan, dalam suatu pengertian, merupakan simpanan dari semua aktifitas linguistik kita, baik dalam sejarah dan perkembangan personal kita juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Sebagai contoh mari kita perhatikan kasus berikut ini yang menunjukkan perbedaan antara pendekatan berorientasi-wacana dan pendekatan yang secara eksklusif berdasarkan pada semantik dari ekspresi individual dan pada tindak tutur yang direpresentasikannya:
A: Saya bertaruh denganmu $500 bahwa Swale akan memenangkan pertandingan.1
B: Oh?

Dalam percakapan ini, beberapa ahli linguistik akan mengklaim, bahwa A menunjukkan/melakukan sebuah tindak tutur bertaruh (dalam pengertian linguistik yang sebenarnya), hanya dengan menuturkan kata-kata ‘Saya bertaruh’. Namun, dalam pengertian yang beorientasi wacana dan pragmatik yang secara ekual adalah valid, dia tidak melakukannya: B tidak ‘terlibat dengan taruhan itu’, misalnya, dengan mengatakan ‘you’re on’ (dalam bahasa Inggris menunjukkan persetujuan untuk menerima taruhan), atau sesuatu yang serupa dengan hal itu. Melainkan, B menuturkan ‘Oh?’ yang tidak sepenuh hati dan tanpa minat. Akibatnya tidak terjadi ‘penerimaan’(‘up take’), sebagaimana yang disebut dalam terminologi dari tindakan tutur: karena itu, satu atau lebih kondisi yang diperlukan untuk melakukan sebuah taruhan secara tepat belum terpenuhi, sehingga belum terjadi taruhan.
Contoh ini menunjukkan bagaimana konteks sangat penting pada penggunaan bahasa secara tepat/sesuai. Setiap tindak tutur (berjanji, meminta, bertaruh, dll.) tergantung pada konvensi sosial sebagai premisnya; dalam kasus taruhan di atas, premis ini merupakan penerimaan dari taruhan oleh penerima yang tepat, seorang ‘ko-petaruh’, yang harus melakukan signifikasi penerimaannya terhadap taruhan dengan menggunakan salah satu ekspresi formulais yang diekspresikan untuk kesempatan ini (seperti ‘OK’ atau ‘you’re on’, dll.) sebagaimana yang dikatakan Levinson, (1983):
tuturan … tidak berhasil tanpa ratifikasi interaksional yang khas dari setiap percakapan.
Sekarang bandingkan pandangan yang berorientasi–wacana dari tindak tutur ini dengan sebuah pendekatan yang berdasarkan-semantik yang tipikal. Pendekatan berdasar-semantik secara tipikal akan mengklaim bahwa hanya peraturan untuk penggunaan tindak tutur yang tepat yang merupakan sifat linguistik, sedangkan untuk berbagai tindak seperti membuat taruhan kita memiliki serangkaian peraturan-peraturan lain: : peraturan-peraturan ini tidak termasuk dalam sistem bahasa, tetapi harus disebut dngan ‘ekstralinguistik’. Wacana, dengan tanda yang sama, secara sempit merupakan konsep linguistik, bukan konsep pragmatik. Perbedaan ini akan meminta kita untuk harus membagi konteks penggunaan (bahasa) bagi para penutur menjadi penggunaan yang bersifat linguistik (gramatikal) dan ‘ekstralinguistik’ (pragmatik).


6.4.7 Peranan Ko-teks dan Konteks dalam Analisis Wacana
Hymes (1973) menyatakan bahwa jika seseorang memerlukan teori bahasa, maka ia perlu meneliti secara langsung penggunaan bahasa dalam konteks situasi dan melihat dengan jelas pola-pola yang cocok untuk aktifitas ujar, kepribadian, struktur sosial, religi, dan sebagainya yang masing-masing merupakan abstraksi dari pemolaan aktifitas ujar ke dalam beberapa kerangka acuan lain. Selanjutnya Hymes menyatakan bahwa sebuah bentuk linguistik yang merupakan sebuah kode kebahasaan atau kejadian tutur itu sendiri tidak dapat diletakkan sebagai sebuah kerangka acuan yang terbatas. Ia harus menempatkan kejadian tutur itu dalam konteks komunikasi, jaringan kerja seseorang melihat aktivitas komunikasi sebagai suatu keutuhan, serta melihat saluran’ channel’ dengan kode yang digunakan dalam tempat yang sesuai dengan anggota masyarakat yang digambarkan.
Hymes membagi komponen konteks tuturan atas enam belas aspek, yaitu: bentuk pesan, isi pesan, setting, suasana, pembicara, pengirim, pendengar, penerima, tujuan tuturan, nada atau cara bertutur, media transmisi, bentuk tuturan, norma interaksi, norma interpretasi, dan jenis tuturan.
Kartomihardjo (1988/1989) menyatakan bahwa wacana sebagai ujaran dapat dipergunakan untuk menandai suatu unit yang lebih besar dari kalimat, dan peran fungsional bahasa dalam interaksi sosial. Dengan demikian wacana sebagai ujaran dipahami sebagai kumpulan unit struktur bahasa yang tidak dapat lepas dari konteks penggunaan bahasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Brown & Yule (1986) bahwa analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk linguistik yang bebas dari tujuan dan fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk tersebut dalam urusan-urusan manusia. Hal tersebut dipertegas oleh Wahab (1988) bahwa data analisis wacana itu bukan berupa kalimat tunggal yang terlepas dari konteksnya. Konteks memegang peranan yang sangat penting dalam analisis wacana.
Dalam pengertian wacana sebagai ujaran, kalimat tidak sekedar dipandang sebagai sistem (langue) akan tetapi kalimat dipandang sebagai parole. Sebagaimana dikatakan Hurford & Heasley (dalam Schiffrin, 1994) bahwa kalimat bukan merupakan kejadian fisik maupun objek fisik. Kalimat disusun secara abstrak yakni sebuah rangkaian kalimat yang diletakkan bersama-sama dalam kaidah gramatikal sebuah bahasa. Sebuah kalimat dapat dipikir sebagai tataan kata yang ideal di balik variasi realisasi dalam bentuk ujaran dan tulisan. Wacana bukan sekedar merupakan deret linier dari fonem ke leksem, ke kalimat, dan ke bentuk yang lebih besar dari kalimat, akan tetapi setiap unsur tersebut merupakan struktur yang baru dan memerlukan deskripsi yang baru (Recoueur, 1996).
Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan aliran struktural gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan. Halliday & Hasan (1985) mengemukakan tiga ciri guna menafsirkan konteks sosial wacana yaitu lingkungan terjadinya tuturan makna yang disebut dengan istilah (1) medan wacana (field of discourse), (2) pelibat wacana (tenor of discourse), dan (3) sarana /organisasi wacana (mode of discourse).
Medan wacana mengacu pada hal-hal yang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung, segala sesuatu yang sedang dilakukan para pelibat/ peserta yang didalamnya bahasa memegang peranan. Pelibat wacana mengacu pada orang-orang, sifat, kedudukan, serta jenis hubungan peranan. Sarana/organisasi wacana merupakan bagian yang diperankan oleh bahasa seperti penyusunan simbol-simbol tekstual dan fungsinya dalam suatu konteks, salurannya, model retorikanya, misalnya (membujuk, menjelaskan, mendidik, dan sebagainya).
Selanjutnya Brown & Yule (1986) menyatakan bahwa dalam menganalisis wacana harus menggunakan pendekatan pragmatika, yang salah satunya adalah dengan mempertimbangkan konteks tempat terjadinya sebuah wacana. Beberapa unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk deiktis seperti di sini, sekarang, saya, kamu, ini, dan itu.
Penganalisis wacana mendeskripsikan apa yang dilakukan para penutur dan pendengar di dalam suatu peristiwa atau interaksi tertentu. Dalam menganalisis wacana hendaknya lebih memperhatikan hubungan antar penutur dan pendengar daripada hubungan antar kalimat sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang terkait dengan istilah referensi, pra-anggapan, implikatur, inferensi/penarikan kesimpulan.
Referensi adalah hubungan yang ada antara kata-kata dan barang yang dimaksud, tugas pendengar/pembaca adalah mengidentifikasikan sesuatu atau seseorang yang dimaksud oleh pembicara/penulis. Setiap orang mempunyai representasi atau model tentang dunia seisinya. Karena itu refernsi yang dimaksud oleh pembicara barangkali tidak sama atau hanya sebagian saja yang mirip dengan referensi yang dipahami oleh pendengar, karena perbedaan dan persamaan representasi mereka masing-masing tentang dunia.
Yang dimaksud dengan pra-anggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan. Pra-anggapan merupakan pengetahuan bersama (common ground) antara pembaca dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber pra-anggapan adalah pembicara. Pembicaralah yang berpraanggapan bahwa pendengar memahami apa yang dipraanggapkan. Penggunaan praanggapan oleh pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar, yang menurut pembicara, pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara. Sedang implikatur adalah apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang senyatanya dikatakan oleh penutur.
Adapun yang dimaksud dengan inferensi adalah usaha penganaliss wacana untuk menarik kesimpulan agar dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antar ujaran. Inference atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar /penganalisis wacana karena tidak diketahuinya makna sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara. Dalam membuat kesimpulan hendaknya lebih banyak menggunakan kesimpulan yang pragmatik sifatnya, berdasarkan pengetahuan sosiokultural, dan bukannya yang logis saja. Inferensi sering sangat diperlukan sebagai asumsi yang menjembatani du hal atau ujaran yang terkait tetapi kurang jelas keterkaitannya.
Sebuah teks atau ujaran tidak selalu dilengkapi dengan missing link yang formal atau memiliki hubungan yang otomatis dengan ujaran sebelumnya, namun seorang penganalisis wacana kadang-kadang harus mencari sendiri hubungan yang non-otomatis ini. Inferensi semacam ini lebih memerlukan usaha interpretatif dengan mengaktifkan sebagian pengetahuan yang relevan yang telah diketahui sebelum ujaran tersebut muncul.
Inferensi juga dapat berfungsi sebagai pengisi kesenjangan atau ketiadaan kontinuitas dalam interpretasi. Dalam analisis wacana proses pemahaman merupakan proses pendalaman untuk menginterpretasikan wacana yang kurang lengkap. Dalam hal ini menarik kesimpulan merupakan proses yang sangat bergantung pada konteks tentang teks yang khusus dan proses itu berada di dalam pikiran pendengar atau pembaca.
Stubbs (1983) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan analisis wacana adalah kajian bahasa yang memberikan tekanan pada aspek sosiokultural. Analisis wacana menekankan kajiannya terhadap penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur.
Kajian wacana didasarkan pada kenyataan bahwa pemakai bahasa tidak berpegang pada kebenaran bentuk dan struktur semata, melainkan juga pada kaidah-kaidah lain yang berlaku, yang berkaitan dengan pengetahuan pemakai bahasa mengenai dunia. Pengetahuan pemakai bahasa tersebut meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan konteks. Melalui konteks tersebut, analis wacana berusaha membuat pengertian dan melakukan interpretasi yang memadai sebagaimana dimaksudkan oleh penutur. Usaha analis dalam menginterpretasi hingga sampai pada kebenaran maksud merupakan kunci utama dalam analisis wacana (Brwon & Yule, 1986).
Menurut Wahab (1990) para analis wacana memerlukan interpretasi untuk dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur, dengan menggunakan prinsip-prinsip penafsiran yaitu prinsip interpretasi lokal (prinsip lokalitas), dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal memberikan tuntunan kepada partisipan tutur/analis wacana untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar diperoleh suatu interpretasi yang sangat mendekati maksud aslinya. Prinsip ini sangat tergantung pada kemampuan analis wacana dalam menggunakan dunia luas dari pengalaman masa lampau yang telah dimilikinya untuk menginterpretasikan gaya bahasa yang dijumpainya.
Adapun prinsip analogi didasarkan pada pengalaman masa lampau yang relevan. Dalam prinsip analogi segala sesuatu diasumsikan seperti dalam keadaan sebelumnya, kecuali jika analis mendapatkan informasi bahwa beberapa aspek telah berubah. Dengan demikian pemahaman terhadap wacana didasarkan pada pengetahuan pribadi analis wacana berkaitan dengan maksud yang dituturkan, terhadap pribadi dan prilaku penutur, serta terhadap konteks-konteks yang melatarbelakangi munculnya tuturan tersebut.
Selain itu dalam menafsirkan suatu kalimat dalam wacana seorang analis wacana selalu dibatasi penafsirannya pada teks sebelumnya yang disebut ko-teks. Setiap teks menciptakan ko-teksnya sendiri. Koteks mempunyai kekuataan untuk menafsirkan wacana, bahkan juga untuk teks yang tidak mempunyai informasi mengenai tempat dan waktu, penutur, dan penerima tuturan. Ko-teks dapat berfungsi untuk merekonstruksikan sekurang-kurangnya bagian tertentu dari konteks fisiknya dan kemudian sampai pada suatu tafsiran mengenai teksnya.

6.4.8 Prinsip Interpretasi Lokal dan Analogi
Prinsip interpretasi lokal mengharuskan pendengar untuk melihat konteks yang terdekat. Prinsip interpretasi lokal memberikan tuntunan kepada pendengar, pembaca untuk tidak menciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar dapat diperoleh interpretasi yang palilng mendekati maksud aslnya yang disampaikan oleh pembicara atau penulis. Prinsip ini tergantung kepada kemampuan pendengar atau pembaca dalam menggunakan pengatahuan tentang dunia luar dan dalam menggunakan pengatahuan masa lampau yang telah dimiliki mengenai kejadian-kejadian yang sama, untuk menginterpretasikan gejala bahasa yang dijumpainya. Pengalaman akan peristiwa-peristiwa yang sama itulah yang memungkinkan pendengar/pembaca untik menunjukkan apa kira-kira maksud suatu wacana itu.
Suatau wacana ditafsirkan dengan mengingat wacana lain yang semacam, yang sudah pernah diketahuai oleh pendengar, dengan cara analogi atau prinsip analogi. Prinsip analogi mengharuskan pendengar atau pembaca menginterpretasikan suatau teks, seperti yang telah diketahui sebelumnya, kecuali ada suatu pemberitahuan bahwa dari sebagian teks tersebut diubah. Di suatu tenpat yang terpencil misalnya, terdapat seorang penjual bensin, bensin campur, dan solar. Seorang pembeli bensin campur tentunya berdasarkan analogi dari pengalaman sebelumnya mengetahui bahwa penjual oli tersebut menjual bensin bercampur oli walaupun di atas papn yang sangat kecil di tulis dengan huruf berdesakan DI SINI JUAL BENSIN CAMPUR SOLAR.
Pada dasrnya pendengar/pembaca selalu berusaha, berdasarkan kedua perinsip tersebut, untuk menginterpretasikan wacana sebaik mungkin. Prinsip lokalitas dan prinsip analogi dalam analisis wacana ini senada dengan konsep koheren (coherence) dalam pragmatik. Koherensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan kalimat-kalimat yang berurutan dalam suatu wacana dianggap mempunyai kaitan satu sama lain, walaupun tidak ada tanda-tanda linguistik yang tanpak. Dengan demikian, asumsi mengenai ini hanya menghasilkan suatu interpretasi saja, bila unsur-unsur pesan dipandang sebagai berkaitan erat, baik dengan maupun tanpa adanya tanda linguistik yang tampak.

6.5 FENOMENA PRAGMATIK DALAM WACANA
6.5.1 Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan (convercation implicature) yang dimaksudkan disini adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Jika ada dua orang yan bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung berkat adanya “kesepakatan bersama”. Kesepatakan itu antara lain berupa kontrak tak tertulis bahwa ikhwal yang dibicarakan tersebut, harus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat (yang dipersambungkan itu) secara lepas; maksudnya, makne keterkaitan itu tidak diungkapakan secara literal pada kalimat itu sendiri.jadi konsep implkatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi” (implicatum).
Kalimat sudah jam sembilan?, misalnya jika ditijau dari aspek strukturnya, dapat dianalisis, antara lain, sebagai kalimat yang tidak memiliki subjek, sebagai kalimat yang berupa kalimat berita (deklaratif). Kalimat itu dapat berrupa jawaban (yang informatif) terhadap pertanyaan jam berapa sekarang? Akan tetapi, kalimat sudah jam sembilan itu diucapkan oleh ibu yang mengelola rumah pondokan (kost) mahasiswi dan diarahkan kepada mahasiswa yang sedang bertamu menemui mahaiswi anak semangnya, maka kalimat itu dapat diartikan kelimat pengusiran secara tidak langsung.
Pad situasi yang sama, dengan informsi yang sama (yakni, perintah menyuruh pulang tamu pria yang sudah waktunya meninggalkan rumah pondokan putri itu), alih-alih kalimat sudah jam sembilan, dapat pula sang ibu rumah pondokan itu menggunakan sudah jam berapa sekarang? Sudah barang tentu pemilihan mengenai yang mana di antara kedua kalmiat tersebut yang diucapkan akan memberikan dampak yang berbeda pada si pembicara dan pada si lawan bicara. Jika dapat memilih yang mana diantara kedua kalimat tersebut yang diucapkan oleh sang ibu rumah pondokan, tentu saja si mahsiswa itu akan lebih enak ditegor dengan kalimat deklaratif itu dari pada kaimat interogatif.
Contoh lai misalnya, ibu yang menyuruh anak gadinya membuat minuman untuk ayahnya cukup mengimplikasikan tuturan sebagai berikut.


(1) Ibu : Ati, itu air yang sudah direbus barang kali sudah mendidih.
Anak : Ya Bu, Bapak kopi apa teh?
Dengan memperhatikan kebiasaan ayahnya yang suka minum kopi dan the, Ati memahami implikatur yang simaksudkan ibunya, namun ingin ketegasan dari ibunya tentang pilihan ayahnya waktu itu. Dengan menggunakan prinsip kerja sama, dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Ati segera ke dapur dan mengambil ceret yang airnya sedang mendidih karen At yakin bahwa ibunya selalu merebus air edalam ceret di dapur. Jadi, implikatur akan dengan mudah dipahami jika antara pembicara dan pendengar telah membagi pengalaman dan pengetahuan.
Konsep tentang implikatur percakapan, pada umumnya berangkat dari asumsi yang dikemukakan oleh Crice dalam Nababan (1987:31) bahwa tindakan berbahasa memandu tindakan orang dalam percakapan untuk mencapai hasil yang baik. Tindakan tersebut merupakan kerja sama yang diperlukan untuk dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efesien. Perangkat asumsi itu menurut Grice, terdiri dari empat peratuaran percakapan (maxims of conversation) yang mendasar yang dipandang sebagai dasar umum (gineral principles) yang mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara keseluruhan disebut Prinsip Kerja Sana (cooperative principle).
Secara umum, analisis implikatur percakapan dalam wacana berdasarkan pada prisnsip umum percakapan ditambah sejumlah konvensi atau maksim yang pada umumnya dipakai oleh pembicara. Prinsip umum percakapan tersebut adalah ”berikan bantuannmu seperti yang dibutuhkan pada tingkat mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan di mana kamu terlibat di dalamnya”. Untuk menopang pemahaman kita tentang implikatur percakapan, perangkat dari prinsip umum percakapan, berikut ini akan dikemukakan empat maksim percakapan sebagaimana dikemukakan di atas. Keempat maksim tersebut adalah kuantitas, kuaitas, hubungan, dan cara.
(1) Maksim Kuantas
Yang dimaksud maksim kualitas adalah “berikan bantuanmu seinformatif yang dubutuhkan (untuk maksud pertukaran pembicaraan). Jangan memberikan bantuan lebih informatif daripada yang dibutuhkan”.
(2) Maksim Kualitas
Yang dimaksud maksim kualitas adalah ”jangan mengatakan sesuatau jika kamu yakin bahwa itu salah. Jangan berkata apabila kamu kekurangan bukati yang cukup”.
(3) Maksim Hubungan
Yang dimaksud maksim hubungan adalah ”relevankan sesuatau yang dikatakan itu”.
(4) Maksim Cara
Yang dimaksud maksim cara adalah ”sajikan sesuatu itu dengan jelas; hindari ketidakjelasan pertanyaan; hindari kedwiartian, singkatlah, teraturlah”.
Di samping prinsip umum sebagaimana dikembangkan dalam empat maksiim percakapan di atas, Grice juga menyebut adanya aturan-aturan lain (yang umpamanya bersifat soisial, estetis, atau susila/moral). Aturan tersebut biasannya disebut dengan prinsip kesopanan (Politeness Principke). Prinsip kesopnan ini diperlukan untuk melengkapi kekurangan yang ada pada prinsip kerjasama. Oleh karena itu, prinsip kesopanan ini dipandang sebagai pelengkap prinsip kerjasama yang dapat menanggulangi hal-hal yang tidak atau sukar diterangkan dengan prinsip kerja sama.
Prinsip kerja sama ini memilik beberapa maksism, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generacity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), dan maksim kesimpatisan (simpathy maxim). Sebagai contoh dapat diperhatikan pada tuturan berikut ini.
(2) A : Betapa pandainya orag itu.
B : Betul, ia memang pandai.
(3) A : Bahasa Inggris sukar, ya?
B : (Siapa bilang), mudah sekali.
(4) A : Aku gagal di UMPTN.
B : jangan bersedih, banyak orang seperti kamu.
Contoh tersebut di atas menunjukkan maksim penerimaan (tuturan 2 dan 3), maksim kesimpatisan (4).


6.5.2 Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan dalam bahasa Ingris Presupposition) adalh dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar, penerima bahasa itu, dan sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat dan sebagainya) yang dapat dipakinya untuk menhunhkapkan makna pesan yang dimaksud.
Praanggapan merupakan pengatahuan bersama (common ground) antara pembaca dan pendengar sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber praanggapan adalah pembicara. Pembicaralah yamg beranggapan bahwa pendengar memahami apa yang di praanggapakan. Suatu tuturan yang diungkapkan, selain dari makna yang di nyatakan dengan pengucapan kalimat itu, disertakan pula tambahan makna yang tidak dinyatakan, tetapi tersirat di dalam pengucapan kaimat itu. Misalnya, seperti yang terjadi pada konteks berikut ini. Saya menitipkan barang saya kepada seseorang (yang tinggal di kota lain) untuk dijualkan, tetapi sudah lama sekali orang yang saya titipi barang itu tidak juga memberikan kabar dean memberikan uang hasil penjualan barang saya itu. Perhatikan kalimat yang saya ucapkan pada orang itu pada waktu saya menelponnya, berikut ini. Kalau barang saya itu sudah laku, uangya jangan dikimkan kepada alamt rumah, tetapi ke alamat kantor saja. Ini alamat kantor saya ...
Yang dinyatakan (asserted) pada kaliamat itu adalah pemberitahuan mengenai cara pengiriman uang dan alama kantor, tetapi yang diperaanggapkan (presupposed) adalah baha orang yang di telponitu masih memiliki tanggungan yang harus dibereskan pada suatau waktu. Kaliamt-kalimat tersebut juga berarti ”peringatan” (terhadap kewajiban membayar yang terselubung).
Konsep praanggapan menggunakan fakrot-faktor pragmatik dalam mengguakan definisi praanggapan. Deginis tersebut pada umumnya menggunakan dua konsep dasar yaitu, pengatahuan bersama (common ground atau mutual knowledge) dan kewajaran (appopriatines atau filicity) seperti pada definisi berikut ini. Suatu praanggapan A berperaanggapan suatu pernyataan B hanya kalau B diketahui oleh pemeran serta. Sebagai contoh A misalnya teman B, mereka saling berkunjung, ngobrol bersama, dan sering berdiskusi tentang banyak hal. Salah satunya seperti dialog berikut.
(5) A: Kucing belangku beranak lagi tiga ekor.
B: Anaknya juga belang kayak yang dulu?
Praanggapan A tentang induk kucingnya yang belang ternyata benar. Apabila tidak, artinya apabila B tidak mengetahui bahwa A memiliki kucing belang, pastilah B tidak akan mengatakannya. Nyatanya B bahkan mengtahui bahwa dullu anak kucing A juga belang. Antara A dan B juga terikat pengatahuan yang sama.
Makin akrap hubungan pembicara dan pendengar, makin banyak mereka berbagai pengalaman dan pengatahuan dan makin banyak pula praanggapan mereka yang tidak mereka utarakan lagi dalam dalam interaksi verbal. Apalagi hal ini terjadi, maka teman-teman merekan yang kurang akrap dan kurang banyak berbagi berbagi pengalaman dan pengatahuan dengan mereka akan sering tidak menangkap pembicaraan mereka berdua. Oleh karena itu penggunaan praanggapan oleh pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar, yang memurut pembicara, pendengar juga memiliki pengalaman dan pengatahuan seperti yang pembicara.
Jadi jika kalimat yang dipakai tidak wajar, dan bila praanggapannya tidak diketahui oleh si pendengar, maka jelas kalimat itu tidak akan dapat dipahami.
Sehubungan dengan praanggapan ini Strausonmenyebutkan dua macam praanggapan, taitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Perbedaannya adalah pada praanggapan semantik menitikberatkan pada hubungan kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya, sedangkan praanggapan pragmatik menitikberatkan pada hubungan antara pernyataan. Atau dengan kata lain, jika praanggapan itu ditekankan pada pernyataan via leksikonnya maka praanggapan itu adalah praanggapan pragmatik.

6.5.3 Inferensi (inference)
Sebuah pekerjaan bagai pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak wacana selalu harus siap dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau (penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca) maeti mengadakan inferensi.
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca (pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan) samapai pada yang diingikan oleh saorang penulis (pembicara).
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau pembicara karena dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus membuat inferensi lagi.
Inferensi terjadi jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis.
Perhatikan wacana berikut ini.
(6)Bu, besok temanku berulang tahun. Saya diundang makan malam. Tapi saya tidak punya baju baru, kadonya lagi belum ada”.
Wacana tersebut jelas tidak menyangkut masalah permintaan “dibelikan baju baru untuk pesta ulang tahun temannya” atau ”minta dibelikan kado”, tetapi sebagai pesapa (lawan bicara) seorang (ibu) harus mengambil inferensi, apa yang dimaksud anak itu.
Pengambilan inferensi dapat memakan waktu agak lama bila dibandingkan dengan panafsiran secara langsung (tanpa memerlukan inferensi). Jadi, dalam hal ini ada hal yang tidak disampaikan kepada pendengar atau pembaca, tetapi keduaanya harus memahami apa yang tidak disampaikan secara langsung tersebut.
Inferensi sangat diperlukan karena digunakan sebagai asumsi yang menjembatani dua hal atau ujaran yang terkait tetapi kurang jelas keterkaitannya. Perhatikan contoh berikut ini.
(7) A : Anak-anak begitu gembira ketika ibu memberikan bekal makanan.
B : Sayang gudegnya agak sedikit basi.
Inferensi yang menjembatani kedua ujran tersebut misalnya (C) berikut ini.
C : Bekal yang dibawa ibu lauknya gudek komplit.
Inferensi seperti (c) itu akan lebih mudah dibuat oleh orang yang berasal dari Jawa Tengah atau orang yang sudah lama tinggal di Yogyakarta. Di daerah tersebut makanan gudeg komplit merupakan makanan yang sangat digemari. Itulah sebabnya masalah sosiokultural yang berhubungan dengan keterkaitan kedua ujran tersebut sangat diperlukan. Sehubungan hal itu, ahli analisis wacana menetapkan suatu bridging asumption seperti contoh di atas memang sulit dan memakan waktu. Selanjutnya para ahli analisis wacana tersebut berpendapat bahwa briging asumption seperti contoh di atas merupakan the missingling link yang diperlukan antara dua ujaran tersebut. Salah satu contoh missing link seperti contoh berikut ini.
(7)A : Saya melihat ke dalam kamar itu.
B : Plafonnya sangat tinggi
Sebagai missing link diberikan inferensi, misalnya:
C: kamar titu memilii plafon
Suatu teks atau wacana mungkin dilengkapkan dengan suatau minssing link karena memiliki hubungan yang otomatis dengan ujran-ujaran yang ada di atasnya. Namun contoh wacana (7) bukan missing link karena harus mencari sendiri hubungan yang non otomatis itu.
Sebgaimana hubungan di atas, bahwa inferensi merupakan hubungan yang diciptakan oleh pembaca atau pendengar untuk memahami atau menginterpretasikan wacana yang kurang lengkap, semakin kurang lengkap suatu wacana, semakin banyak usaha pendengar atau pembaca untuk membuat inferensi. Dalam hal ini menarik kesimpulan merupakan proses yang sangat bergantung pada konteks tentang teks yang khusus dan proses itu ada dalam pikiran pendengar atau pembaca.
Dengan uraian tentang inferensi di atas, masalah inferensi belum selesai dengan tuntas, karena masih ada paling tidak satu hal yang perlu mendapat penjelasan dan kejelasan. Hal itu merupakan ungkapan-ungkapa yang tidak jelas benar apakan termasuk hubungan otomatis atau termasuk inferensi. Seperti telah diuraikan di atas hubungan otomatis tidak dimasukkan sebagai inferensi karena perbedaannya ialah waktu yang tersangkut bagi pengambilan simpulan, sedangkan hubugan otomatis tidak memrlukan waktu dalam penafsirannya. Sebgai contoh, perhatikan rekaan berikut ini.
(9) Arbatsani menjadi juara All England 8 tahun berturut-turut.
(10) a. Dia Sopan santun.
b. Dia seorang yang stabil emosinya.
c. Dia adalah juara bulu tangkis yang andal.
d. Dia waktu kecil anak manis.
d. Dia sangat keras dalam latihan-latihannya.
Seandainya ujaran (9) diikuti oleh ujran (10) satu per satu, manakah yang dapat dikatakan sebagai inferensi. Apakah (10a) merupakan proposisi kesimpulan? Dengan kata lain, mestilah seorang juara sopan santun, atau paling tidak karena sopan santunnya Albartsani menjadi juara? sepertinya kita setuju apabila jawaban kita ialah: ”belum tentu”, karena secara umum banyak juga juara yang tidak sopan santun. Akan tetapi, kita dapat bertanya bilakah (10a) dapat merupakan inferensi (9)? Sepertinya mungkin saja, namun inferensi itu, yaitu (10a), tidak (hanya) ditarik kesimpulan dari (9), melainkan (juga) dari konteks wacana yang lebih luas yang merangkum pola (9). Jadi, bisa saja (10a) merupakan inferensi, tetapi hal itu bergantung pada konteks wacana yang merangkum (9) juga hal itu rupanya berlalu pula bagi (10d), sehingga kita tidak perlu lagi mencari kedudukan (10d).
Lain halnya dengan (10b), karena memang mungkin seorang sang juara memilii emosi yang stabil, biarpun hal itu tidaklah merupakan kesimpulan yang seluruhnya benar karena ada kalanya –dan contohnya terdapat juga –hubungan antara (9) dan (10a) atau (10d), hubungan antara (9) dan (10b) cukup lebih erat, sehingga (10b) dengan tidak terlalu sukar dapat merupakan inferensi. Khususnya jika hal itu dipertimbangkan bahwa menjadi juara delapan tahun berturut-turut tentulah menunjukkan ke stabilan. Lebih lagi jika terdapat suatu bantuan yang berupa konteks, biarpun hanya satu kalimat saja, seperti misalnya kalimat (11) berikut ini.
(11) Albartsani dengan tenang melayani permainan lawan-lawannya, dan satu demi satu dibabatnya tanpa ampun.
Dengan demikian tuturan (10b) merupakan inferensi. Seorang pemain bulu tangkis dapat menjadi juaran jika sebelumnya ia mengandalkan latihan keras. Begitulah hubugan antara (9) dengan (10e) cukup erat juga. Bagaimana dengan (10c)? Rupanya sukar untuk menolak hubungan yang sangat erat antara (9) dengan (10c). Artinya, jika seseorang dapat menjadi juara delapan kaliberturut-turut, tentulah ia merupakan juara yang betul-betul andal.

6.5.4 Referensi (Reference)
Dalam analsis wacana, referensi mengacui pada benda, binatang, nama diri atau orang (Pronomina persona), dan unsur kosong (sifat) atau hilang yagn dimaksufkan oleh pembicara. Tugas pendengar atau pembaca adalah mengidentifikasi suatau atau seseorang yang dimaksud oleh pembicara atau penulis. Selanjutnya setiap orang memiliki representasi atau model tentang dunia seisinya. Oleh karena itu rferensi yang dimaksud oleh pembicara barang kali tidak sama atau sebagian saja yang mirip dengan referensi yang dipahami pendengar karena perbedaan dan persamaan referensi mareka masing-masing.
Referensi yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru untuk memperkenalkan atau menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti, demikian juga seterusnya. Dalam upaya memahami amanat bahasa yang sedang berlaku, referensi yang berhasil tergantung pada pengenalan atau identifikasi pendengar akan referen si yang dimaksudkan oleh pembicara berdasarkan ungkapan yang dipakai untuk mengacunya. Hal ini melibatkan pengertian ”mengenal referensi yang dimaksud oleh pembicara” yang sangat penting dalam mempertimbangkan tiap penafsiran ungkapan acuan dalam wacana. Walaupun terdapat kenyataan bahwa, dalam beberapa analsisis diajukan gagasan bahwa ungkapan tertentu mempunyai referensi yang unik dan bebas, secara umum dapat dinyatakan bahwa apapun bentuk ungkapan acuan itu, fungsi referensinya tentu bergantung pada maksud pembicara pada saat ungkapan itu disampaikan.
Perhatikan ungkapan (wacana) berikut ini.
(9) Ayahku membaca koran di serambi.
Identitas orang yang diungkapkan sebagai ayahku mungkin mempunyai sejumlah sifat (bernama Hasan, berambut ikal, ahli hisap, dan sebagainya) dalam referensi pembicara, tetapi bagi pendengar mungkin hanya satu pengenalan sesuai dengan “orang yang dirujuk sebagai ayah dari pembicara”. Identitas itu mungkin bertambah, seperti misalnya, “membaca kora di sarambi”. Mungkin selama wacana itu berlangsung , pendengar menambahkan sifat-sifat lain yang sesuai dengan konvensi sosial budaya, misalnya disegani pembicara.
Pemakaian nama diri sebaga ungkapan acuan pada umumnya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, perujukans ecara unik bagi nama diri mungkin saja hanya dalam kontks khusus saja. Kiranya dapat dipahami, mengapa nama seperti Sarinah, yang dipakai untuk mengacu ke orang, harus bergantung kepada identifikasi seseorang secara khusus pula. Sebabnya mudah sekali dilihat, karena demikian banyak orang yang memakai nama Sarinah di Indonesia. Namun, nama diri tertentu ada yang dipakai secara unik tanpa mingindahkan konteks, dan nam Ranggawarsita mungkin merupkan sebuah contoh. Pandangan ini sebenarnya dapat menyesatkan. Kartini, misalnya dapat dipakai untuk tidak merujuk ke orang, melainkan ke karanga buku wanita terkenal, seperti pada contoh berikut ini.
(10) Kartini kutaruh di rak sebelah kiri dekat Max Havilar.
Akan tetapi, dapat pula tentang buku tentang wanita terkenal itu disebut juga kartini. Demikian juga sebanarnya nama Ranggawarsita dapat mengacu ke suatu publikasi tulisan pejangga besar itu, untuk publikasi tentang pejangga itu. Perhatikan bahwa penafsiran perujukan ungkapan dengan nama diri seperti Kartini, Ranggawarsita, Chairil Anwar, dan lain sebagainya, bergantung pada predikat atau verba yang dipakai dalam ungkapan-ungkapan itu. Bahkan mungkin terdapat keserasian antara subjek dan verba yang dipakai dalam ungkapan-ungkapan itu. Bahakan mungkin terdapat semacam keserasian anrata subjek dan verba, seperti membaca, menulis, dan lain sebagainya. Misalnya wacana berikut (11) dapat kita terima, tetapi mungkin wacana (12) terbaca agak janggal, biarpun hj\al itu tidak tak mungkin.
(11) A : Ibu semalam suntuk membaca Kartini.
B : Pak Hasan membaca Ranggawarsita satu bulan selesai.
(12) A : Si Upik di TK itu membaca kartini berkali-kali
B : Adikku yang di SD membaca Ranggawarsita di Kebun.
Mungkin saja nama diri juga dipakai dengan keterangan, sehingga artinnya terbatas pada siri-ciri bersangkutan yang menonjol saja, dan bukan merujuk ke seluruh orangnya. Hal ini biasa dipakai untuk merujuk ke pribadi-pribasi yang terkenal, sehingga yang membaca paling tidak memahami ungkapan kewacanaan itu. Perhatikan contoh berikut ini.
(13) Sutikno, anak anak politikus terkenal itu, Chairilnya SLTP 1.
Frasa nomina tak definit mungkin juga tak merujuk pada referen tertentu , melainkan bersifat ”tak jelas” (Opaque), seperti yang terdapat pada tuturan (14) berikut ini.
(14) Yuni mencari pekerjaan baru.
Tanpa konteks, pekerjaan baru dapat berarti pekerjaan apa saja. Untuk dapat mengacu pada pekerjaan tertentu seperti yang dimaksud pembicara, pendengar perlu diberi ”ko-teks”, suatu teks yang mendahului atau mengiringi ujaran. Oleh karen tidak jelas, kita tidak dapat menambahkan pada tuturan (14) itu, seperti pada tuturan (14) berikut ini.
(15) Pekerjaannya sedang bangkrut.
Ada kalanya, karena konteks tertentu, frasa tak definit dapat dirujuk secara pasti. Oleh kareng itu, kita mesti mempertimbangkan saran-saran yang diberikan oleh konteks atau ko-teks, apakah prasa nomina tak definit, seperti seseorang atau sesuatu, yang dapat ditafsirkan merujuk ke orang tertentu atau tidak. Umpamanyam dalam mengucapkan ujran-ujaran (16) dan (17) pembicara dapat dinyatakan dengan intonasi tertentu , bahwa maksudnya adalah merujuk ke orang tertentu.
(16) Seseorang (dan aku tahu siapa) datang terlambat.
(17) Seseorang (dan aku tak tahu siapa) telah meencuri motorku.

6.6 PIRANTI KOHESI DALAM WACANA
6.6.1 Hakikat Piranti Kohesi
Sebuah wacana atau teks terwujud atas sejumlah unsur pendukungnya. Kata, frasa, kluasa, kalimat, dan paragraf yang terwujud dalam wacana atau teks, semuanya merupakan wahana penuangan ide atau pikiran penulisnya. Unsur-unsur tersebut disyaratkan tidak sekedar memilih hubungan yang menggambarkan kesatuan (unity), melainkan juga dituntut adanya tataan dan jalinan yang erat antara satu unsur dengan unsur yang lain, sehingga tercipta keselarasan dalam wahana atau teks. Tataan dan jalinan antar unsur inilah secara kualatif disebut sebagai hubungan kohesi. Dalam hal ini kohesi merupakan konsep semantik yang mengacu pada pertautan unsur gramatikal dalam sebuah wacana atau teks dengan menggukan alat penghubung formal.
Dalam mengwujudkan hubungan keselarasan dalam wacana atau teks, diperlukan alat-alat penghubung, seperti kata petunjuk , kata penghubung, dan sejenisnya. Alat-alat penghubung ini lazim disebut pemarkah atau piranti kohesi. Sebagai bagian sistim wacana atau teks, piranti kohesi bukan hanyaberkesusukan sebagai alat penghubung unit struktur, melainkan juga memiliki fungsi semantis. Oleh karena itu, piranti kohesi bukan hanya berhubungan dengan kode kebahasaan akan tetapi lebih dari itu, iranti kohesi berhubungan dengan dunia makna yang diacu oleh kode kabahasaan itu sendiri, sehingga keberadaannya juga berkaitan dengan proses berfikir para pemakainya.

6.6.2 Bentuk dan Jenis Piranti Kohesi
Bentuk dan jenis iranti kohesi dalam suatau wacana atau teks bermacam-macam, tergantung kepada keberadaan, ciri, can fungsinya. Dari segi bentuknya, piranti kohesi dapat berupa leksis, akan tetapi sesuai dengan fungsinya piranti kohesi dapat berupa kata tugas. Di samping itu, jika dikaitkan dengan bidang cakupan kohesi yang meliputi intrakalimat, antar paragraf, dan mungkin juga pada satuan kebahasaan yang lebih besar, maka pemilihan jenis piranti kohesi ini tentunya juga lebih luas lagi.
Telaah piranti kohesi dalam wacana mencakup dua jenis piranti kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Piranti kohesi gramatikal adalah piranti kohesi yang dinyatakan dengan tatabahasa. Piranti kohesi gramatikal, meliputi piranti kohesi pengacuan (reference),m pelepasan (delection), pemakaian pronominal, penyulihan (substitusi), penyebutan ulang, pemakaian konjungsi.
Piranti kohesi leksikal adalah piranti kohesi yang diwujudkan dalam bentuk leksikal, mencakup nomina umum (gineral noun) reiterasi (reiteration), repetisi (repetion), sinonim (synonim), superordinat (superordinate), dan kolokasi (collokation).
Sedangkan Holiday dan Hasan membagi dan bentuk jenis piranti kohesi sebagaimna diuraikan dalam bagan atau gambar berikut ini.




Anafora
Referensi
Katafora
Substitusi
Endofora
Elepsis

Konjungsi
Piranti
Kohesi Leksikal



Eksofora
Berdasarkan bagan tersebut jelaslah bahwa piranti kohesi meliputi (1) endofora, sebagai piranti yang hadir dalam tulisan, dan (2) eksofora, yaitu piranti kohesi yang berkaitan dengan konteks situasional. Piranti kohesi endofora terdiri dari (1) referensi yang di dalamnya meliputi piranti kohesi anafora yaitu pengacuan oleh suatau unsur kepada sesuatau unsur yang mengikutinya; (2) Substitusi (penyulihan), (3) elepsis (pelepasan); (4) konjungsiu, dan (5) leksikal.

(1) Piranti Kohesi Konjungsi
Konjungsi merupakan kohesi dalam wacana/teks dapat terlihat pada hubungan antar unsur klausa/kalimat, baik dalam tataran intrakalimat, maupun antarkalimat, antarpragraf, maupun dalam tataran yang lebih besar. Piranti kohesi konjungsi dalam wacana/teks dapat berwujud hubungan pertentangan, penambahan, pengecualian, konsensif, sebab-akibat, dan sebagainya. Penggunaan piranti kohesi konjungsi dalam wacana/teks sebagaimana terlihat pada tuturan berikut ini.
(5.1)
Dia panda mengeobati penyakit biasa. Akan tetapi dia juga dapat mengobati perempuan dan laki-laki yang kena guna-guna. Dia mempunyai ilmu yang dapat membuat seseorang sakit perut sampai mati. Dia pandai membuat jimat yang ampuh, yang dapat mengalihkan bahaya ular, atau binatang buas yang lain.
(5.2)
Sain dan teknologi semakin hari semakin berkembang. Berbagai ilmu pengatahuan, teknologi, kebudayaan berkembang dengan pesat. Namun demikian, hasil peling penting bagi sain dan teknologi dalam sejarah manusia ialah bahwa ia memungkinkan mengjapuskan sistem perbudakan, sebagaimana dikenal pada zaman Yunani dan Romawi atau di Amerika hingga abad ke-19.
(5.3)
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kualitas para sarjana dewasa ini semakin meningkat. Hasil-hasil yang mengembirakan telah dicapai. Walaupun demikian, betapapun besar hasil-hasil yang dicapai oleh sarjana di era ini, ia mulai kehilangan mumentum menjelang pertengahan abad ke-19.
Frasa akan tetapi, dengan demikian, dan walaupun demikian, dalam contoh wacana tersebut menunjukkan beberapa perwujudan piranti kohesi konjungsi antarkalimat.

(2) Piranti Kohesi Substitusi (Penyulihan) dan Referensi (Pengacuan)
Selain penggunaam piranti konjungsi dalam wacana, sering pula digunakan kata yang maknannya sama sekali berbeda dengan makna kata yang diacunya. Piranti kohesi yang demikian itu, disebut dengen piranti kohesi substitusi (penyulihan). Atau dengan kata laiu, piranti kohesi substitusi merupakan piranti kohesi pergantian konstituen dengan memakai kata yang maknanya sama sekali berbada denga kata yang diacunya (yang menjadi reference-nya), sedangkan referen merupakan proses mengacu ke sesuatu yang diacunya. Oleh karena itu, substitusi tidak sama dengan referens (pengacuan), karena substitusi merupakan bagian dari referens (pengacuan). Berikut ini dapat dilihat perbedaan piranti kohesi substitusi dan referens.
(5.4)
a. Saya membeli buku.
b. Buku itu berjudul ”Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia”
(5.5)
a. Atas keputusan itu, Hasan mengatakan naik banding.
b. Ayah dua anak itu bahkan sempat mengomentari vonis tersebut dengan nada bercanda.
Konstituen buku (5.4a) merupakan sesuatu yang diacu oleh konstituen buku itu (5.4b) dan kalimat tersebut tidak mengalami pergantian kata dengan kata yang maknanya berbada dengan yang diacunya. Kata buku pada (5.4a) sama dengan kata buku pada (5.4b). berbeda halnya dengan kalimat (5.5), konstituen Hasan pada kalimat (5.5a) diacu olej konstituen ayah dari dua orang anak itu (5.5b). sesuatu yang diacunya itu berbeda maknannya dengan pangacunya. Oleh karen itu, pengacuan pada kalimat (5.5) itu merupakan penyulihan, karena pada kalimat itu merupaka pergantian kata pengacu yang berbeda maknanya dengan yang diacunya.
Sejajar dengan penyulihan leksikal yang terdapat pada contoh-contoh di atas, ada juga penyulihan jenis lain, yait penyulihan bentuk yang tidak mengacu ke acuan yang sama, melainkan ke ”kumpulan yang sama”. Pada dasarnya penyulihan seperti ini sama dengan penyulihan yang telah dibahas pada bagian terdahulu. Perbedaannya hanya terletak pada ”sesuatu” yang diacunya itu satu jenis yang pasti. Akan tetapi, penyulihan pada jenis ini ”sesuatu” yang diacunya merupakan kumpulan (golongan) yang sama atau juga sesuatu yang mempunyai kolokasi dengan butir tersulih itu. Perhatikan contoh berikut ini.
(5.6)
Tetangga kami mempunyai anjing doberman. Pak Hendrik mempunyai seekor juga.
(5.7)
Suatu hari Paman Hanafi berjalan-jalan ke pasar. Paman Hanafi berkeliling di seputar pasar burung itu. Ia melihat burung glatik yang cantik. Akhirnya ia membelinya seekor untuk dipeliharannya di rumah.
(5.8)
Heni berjalan-jalan di tengah kebun mawar. Waktu mau keluar, ia menarik sekuntum dan disematkan pada dada blusnya.
Frasa anjing doberman dan benatuk seekor pada (5.6) dan burung glati yang cantik dengan seekor pada (5.7) tidak mengacu pada acuan yang sama, melainkan ke spesies yang sama, yiatu anjing doberman (5.6) dan burung (5.7). pada contoh (5.8) kata mawar dan bentuk sekuntum, mengacu pada kumpulan yang sama, yaitu bunga.



(3) Anafora dan Katafora
Anafora merupan pengacuan oleh suatu unsur pada unsur lain yang mendahului. Menurut Purwo (1984:103) anafora itu hanya mengacu pada konstituen yang berada di sebelah kiri seperti pada contoh berikut ini.
(5.9)
CN-235 Merpati Nusantara Airlines menabrak gunung Puntang di gugusan Pepandayan. Burung besi itu ditemukan porak poranda.
(5.10)
Buku itu jangan dicetak ulang, saya belum ingin merevisinya.
(5.11)
Zainal Abidin tidak pernah kelihatan di kantor ini karena ia sedang tugas belajar di Pakistan
Wacana (5.9-5.11) menunjukkan pada penanda kohesi pengacuan anafora. Konstituen burung besi itu yang menjadi subjek klausa kedua dalam wacana (5.9) mengacu ke konstituen CN-235 Merpati Nusantara Airlines yang menjadi subje klausa pertama. Klitik –nya yang menjadi objek pada klausa kedua pada wacana (5.10) mengacu ke konstituen buku itu yang menjadi sibjek klausa pertama. Sedangkan ia yang merupakan subjek klausa pelengkap pada wacana (5.11) mengacu ke kostituen Zainal Abidin yang merupakan subjek klausa matrik.
Katafora merupakan pengacuan oleh suatu unsur kepada unsur lain yang mengikutinya. Purwo (1984:104) mengatakan bahwa katafora bentuk yang mengacu pada konstituen yang teletak di sebelah kanannya, seperti pada contoh berikut ini.
(5.12)
Meskipun kehadirannya agak terlambat. Pak Hasan Busri yakin bahwa ceramahnya akan didengar orang.
(5.13)
Setelah menyadari kesalahannya karena dinasehati oleh pemannya yang diseganinya itu, Pak Alfan Zuhairi merasa malu kepada tetangganya.
(5.14)
Kepedihan itu tambah menyayat ketika ia melihat lalat berterbangan dan truk-truk pengangkut kantung mayat. Dua puluh orang mati setiap hari karena kelapara, begitu catatan resminya. ”kenyataan yang saya saksikan, lebih dari 200 orang” kata Samsul Arifin.
Selain klitik –nya konstituen mereka dapat pula bersifat katafora, sepeti pada contoh berikut ini.
(3.15)
Merekalah biang kekacauan, bigitulah tuduh pemerintah. Kelompk Islam garis keras itu sama atau kelanjutan dari kelompok sejenis sebelumnya yang pernah mengoncangkan dunia.
(3.16)
Mereka tidak pernah jera, meskipun pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden George W. Bush telah menyatakan perang terhadap kelompok pengacau itu.
Konstituen merekalah pada wacana (5.15) dan mereka pada wacana (5.16) mengacu pada konstituen di sebelah kanannya, yaitu Kelompok Islam garis keras dan kelompok pengacau itu.
Pernahkah katafora, selain kata ganti orang ketiga, dapat pula berupa konstituen zero (0) seperti terlihat pada contoh berikut ini.
(5.17)
Ketika O menghadiri faradina langsung ingat sesuatu.
(5.18)
Pada saat O bertemu dengan Presiden Adurahman wahid. George W. Bush tidak menyinggung masalah teroris di Indonesia.
Konstituen O pada wacana (5.17) dan wacana (5.18) mengacu pada konstituen yang berada di sebelah kanan, yaitu mengacu pada faradina dan George W. Bush.

(4) Penanda Kohesi Pengulangan
Piranti kohesi dalam sebuah wacana, juga ditandai dengan penggunaan bentuk pengulangan secara definit. Sebagai penenda definit biasannya digunakan kata itu, ini, tersebut, dan yang. Wacana berikut menunjukkan bahwa strategi penyebutan ulang secara definit dapat digunakan untuk memelihara kepaduan sebuah wacana.
(5.19)
Wak Katok membawa senapan lantaknya. Biasanya jarang membawa senapa jika mendamar. Senapan itu hanya dipakainya ketika berburu rusa san babi.
(5.20)
Sepeninggal induk semangku kurasa memang berkendoralah urat-uratku. Rasa lega di hati. Kelegaan ini kupkir bukan karea adanya kesempatan beristirahat, ttapi lebih-lebih karena lepas dari ketawa yang terus-menerus untuk mengimbangan keramahan induk semang baru itu.
Pada contoh di atas, bentuk pengulangan secara definit direalisasikan dengan beberapa bentuk. Konstituen senapan lantaknya pada wacana (5.19) disebutkan ulang ditambah pendefinit itu, menjadi senapan itu. Demikian juga konstituen induk semangku pada wacana (5.20) disebutkan ulang ditambah pendefinit itu, menjadi induk semang itu.

(5) Piranti Kohesi Kata Ganti (Pronomina)
Piranti kohesi kata ganti dalam suatu wacana dapat terjadi jika penggantian konstituen yang satu dengan konstituen kata ganti (pronomina), memiliki acuan yang sama. Atau dengan kata lain dengan konstituen tertentu dan konstituen kata ganti memiliki jarak referensial yang relatif dekat, walaupun tidak sedekat apabila terjadi pelesapan, dan tidak disela oleh topik lain. Perhatikan contoh berikut ini.
(5.21)
Dua orang gadis tanggung sedang berjalan menuju balai desa. Mereka adalah Mukarromah dan Yuni.
(5.22)
Buyung dan kawan-kawannya juga ingin mendapatkan ilmu menghilang. Dia telah bermimpi tentang hal-hal yang dapat dilakukannya, jika dapat ilmu demikian, alangkah mudahnya ia mengintip Zaitun lagi tidur, atau lagi mandi. Darahnya berdebar melihat kemungkinan ini, dan alangkah mudahnya dia menjadi kaya jika dia punya ilmu serupa itu.
(5.23)
Soetjipto sebagai salah satu Korp Pelatih dengan nada tinggi mengatakan akan menemui Cholid untuk minta pertanggungjawaban. Ia tidak terima jika dikatakan para pelatih Indonesia tidak mampu melatih dengan baik. Walaupun persepakbolaan kita sedang lesu, kita tidak dapa menyalahkan para para pelatih. Ia mengatakan bahwa pelatih Indonesia mampu mencetak pemain yang bermutu jika dibantu oleh kesungguh-sungguhan para pemain.
Wacana tersebut (5.21 - 5.23)menunjukkan kepaduan karena adanya penggunaan penanda kohesi kata ganti. Kata ganti mereka pada wacana (5.21) untuk mengganti dua gadis tanggung dan dia untuk mengganti Buyung pada wacana (5.22); serta ia untuk mengganti Soetjipto pada wacana (5.23). Strategi ini merupakan strategi yang lebih efektif daripada penggunaan strategi bentuk pengulangan ditambah difinit.



6.6.3 Piranti Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi adalah dua istilah yang mengacu pada konsep atau pengertia mirip yang sering dirancukan, terutama dalam telaah teks atau wacana. Berdasarkan kenyataan bahwa (1) bentuk kebahasan itu selai memiliki lapis struktur juga memiliki lapis arti, (2) fungsi gramatikal itu juga disertai oleh fungsi semantikal, dan (3) wacana/teks adalah suatu paparan gagasan yang menggunakan bahasa sebagai wahana paparannya, maka keberadaan piranti kohesi, selain memiliki fungsu struktural akhirnya juga memiliki fungsi semantik. Dengan demikian, penggunaan piranti kohesi dalam wacana/tks bukan hanya dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan gagasan yang dipaparkan dalam wacana itu sendiri.
Adanya keselarasan dan kesatuan butir-butir gagasan dalam wacana lazim disebut juga koherensi atau menggunakan istilah discourse caherence. Disebabkan oleh kenyataan bahwa wacana adalah eujud ekspresi gagasan dengan menggunakan wahana yang berupa kode kebahasaan, maka terdapatlah koherensi dalam wacana, yang dibentuk oleh adanya pemakaian piranti kohesi secara tepat, dan keselarasan hubungan gagasan yang disampaikan melalui strategi pengembangan tertentu, juga ditandai oleh adanya kekompakan melalui strategi pengembangan tertentu, juga ditandai oleh adanya kekompakan elemen sistem kebahasaan lain di luar iranti kohesi. Sebab itulah Becker dalam Lubis (1993) mengungkapkan adanya dua jenis koherensi, yaitu (1) koherensi referensial dan (2) koherensi tekstual. Koherensi referensial adalah kesatuan gagasan antra unit tertentu dalam satuan permasalahan tertentu, misalnya hubugan gagasan dalam kalimat yang ditandai oleh penggunaan jika.... maka... Sementara koherensi tekstual adalah koherensi antar unit makna dalam keberadaan wacana secara keseluruahan.
Konsep dan pengertian yang odentik dengan Becker, tetapi dinyatakan dengan istilah yang berbeda, yaitu yang dikemukakan oleh Widdowson dalam Lubis (1993) menyatakan, apabila hubungan semantis terdapat pada unsur teks (termasuk kalimat) digunakan pemarkah atau tanda penghubung formal, maka hubungan ini disebut dengan hubungan kohesi. Sebaliknya jika hubungan tersebut tidak tidak digunakan penanda formal, disebut koherensi. Dengan demikian jelaslah, bahwa perbedaan antara kohesi terletak pada digunakan tidaknya tanda penghubung formal atau dalam hal ini piranti kohesi dalam hubungan semantis yang terdapat pada teks atau wacana.
Suatu interpretasi tentang suatu teks biasanya berdasarkan struktur sintaksis dan kosakata yang digunakan dalam teks tersebut. Namun, hal itu bukan satu-satunya cara, karena banyak teks yang tidak gramatikal dan tidak berisi kosakata yang diperlukan. Pemasangan iklan misalnya, sering tidak menggunakan kalimat lengkap, namun pembaca dapat memahami dengan baik. Perhatikan teks iklan berikut ini
(5.24)
Dikont. Ruko 3 Lt. Ac. Telp. 4 line
Perk. Cempaka Putih.
Jl. Let. Jend. Seprapto sebelah BDNI, sederetan
dengan LIPPO dan Exim Bank, Min 2 th.
Kecuali struktur kalimat pembaca juga mengetahui cara membaca dan memahami ”iklan mini”. Demikian juga kata-kata atau singkatan-singkatan kata yang dijajarkan mengarahkan pembaca untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut sebagai kalimat atau bagian kalimat. Pembaca pada umumnya juga menyadari adanya konvensi dan aturan dalam masyarakat. Dengan bekal itu kita memahami bahwa tuturan (5.24) berisi iklan rumah toko bertingkat tiga dan akan dikontrakkan selama paling sedikit dua tahun, teretak di daerah perkantoran di Jln. Letjen. Suprapto, dan sebagainya.

6.7 KAJIAN WACANA KRITIS
Wacana (discourse) merupakan istilah yang dipakai dalam berbagai disip-lin ilmu, mulai dari politik, sosiologi, linguistik, sastra, psikologi sosial, hukum, komunikasi, dan sebagainya. Setiap disiplin ilmu terkadang berbeda dalam kon-sepsi dan pendekatan yang digunakan. Dalam disiplin ilmu politik misalnya, analisis wacana diartikan sebagai praktik pemakaian bahasa, terutama bahasa politik. Disiplin sosiologi, mengartikan bahwa wacana menunjuk pada hubung-an antarkonteks sosial dari penggunaan bahasa.
Linguistik mengartikan wacana sebagai unit kebahasaan yang lengkap, dan umumnya lebih besar daripada kalimat (Brown dan Yule, 1983; Stubbs, 19983). Analisis wacana dalam studi linguistik ini muncul sebagai reaksi terhadap bentuk linguistik formal yang lebih memperhati-kan pada unit kata, frasa, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana, kebalikan dari linguistik formal yang memusatkan perhatian dan kajiannya pada hubungan gramatikal yang terbentuk pada unit kebahasaan yang lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tulisan (Mills, 1997:8).
Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial, diartikan sebagai pem-bicaraan atau diskursus. Wacana yang dimaksud dalam hal ini mirip dengan struk-tur dan bentuk wawancara dalam praktik penggunaannya.
Walaupun ada gradasi yang besar dari berbagai pandangan, titik singgung-nya adalah analisis wacana berhubungan dengan penggunaan bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? Sedikitnya ada tiga pandangan menge-nai bahasa dalam analisis wacana, yaitu (1) pandangan kaum positivisme-empiris, (2) pandangan konstruktivisme, dan (3) padangan kritis.
Pandangan positivisme-empiris memandang bahasa sebagai penghubung antara manusia dengan objek di luar dirinya. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana adalah memahami bahasa tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, tetapi yang penting adalah suatu pernya-taan disampaikan dengan benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tataaturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
Pandangan konstruktivisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan positivisme-empiris. Dalam pandangan ini, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dispisahkan dari subjek seba-gai penyampai pernyataan, tetapi dalam pandangan ini subjek merupakan faktor utama dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk mengungkap mak-na-makna tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang mengemukakan pernyataan.
Pandangan kritis muncul sebagai koreksi terhadap pandangan konstrukti-visme yang dianggap kurang sensitif dalam proses produksi dan reproduksi mak-na, baik yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tatabahasa atau proses penafsiran seperti pada proses konstruktivisme. Analisis wacana dalam pandangan menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan re-produksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang dapat menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi oleh kekuatan osial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Dengan pan-dangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan keku-asaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat.
Oleh karena itu, analisis wacana kategori yang ketiga di atas mengguna-kan perspektif kritis yang disebut dengan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis).

Konsep Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis merupakan jenis kajian analisis wacana yang memfokuskan studinya pada eksplanasi hubungan dialektis antara bahasa sebagai praksis linguistik, teks sebagai praksis wacana, dan budaya sebagai praksis sosial (Fairclough, 1995:27; Dijk, 2003:1).
Analisis wacana kritis sebagai tipe analisis wacana, awalnya mengkaji dan mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan diproduksi melalui teks/wacana dalam sebuah konteks sosial politik. Analisis wacana kritis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan studi-studi budaya (cultural studies), khususnya yang berkembang di Inggris, ke dalam akar-akar tradisinya sebagai studi kritis (critical studies). Selanjutnya, Analisis wacana kritis mengkaji wacana yang di dalamnya mengandung penggunaan bahasa sebagai penyalur informasi sehingga memungkinkan suatu masyarakat mengembangkan budaya, hukum, pandangan atau ideologi, agama, adat istiadat.
Sejumlah ahli yang mengembangkan analisis wacana kritis pada fase awal, di antaranya Jurgen Hubermas (1952), Michel Faucault, (1971), Louis Althusser (1971), Antonio Gramci (1971), dan Stuart Hall (1982). Pada fase berikutnya muncul beberapa pakar analisis wacana kritis, antara lain Roge Fawler (1979), Gunther Kress (1979), Robert Hodge (1979), Tony Trew (1979), Theo Van Leeuwn (1987), Teun Van Dijk (1986), Norman Fairclough (1982), Sara Mills (1991), dan Ruth Wodak (1991). Dalam kajiannya, yang bersifat multidisipliner, analisis wacana kritis memanfaatkan pula tradisi “kritis” disiplin ilmu lain, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, psikologi sosial, sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Di sisi lain analisis wacana kritis dapat diposisikan sebagai metode kajian yang bersifat multilevel analysis, mempertautkan analisis pada jenjang mikro (teks) dengan analisis pada jenjang makro. Namun demikian analisis wacana kritis bukan hanya sekumpulan metode formal atau kerangka analisis (analysis framework) untuk melakukan analisis wacana, tetapi memuat pula teori-teori wacana yang umumnya merupakan suatu kerangka teori (theoritical framework) yang lebih besar tentang berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat.
Kerangka teoritis analisis wacana kritis dikembangkan berdasarkan tiga konstruk utama, yaitu (1) teks dan kajian struktur teks, (2) praktik wacana dan konsep urutan kewacanaan, dan (3) praktik sosiokultural dan konsep budaya (Fairclough, 1995:ix). Kontruk pertama melahirkan pola pikir bahwa analisis wacana kritis sebagai analisis tekstual yang sistematis dan mendetail hanya dapat dilakukan melalui komplementasi antara analisis linguistik dan analisis interteks-tual. Hal ini ditegaskan oleh Fairclough (1995:187) melalui pernyataan “that one cannot property analyse content without simultaneousey analysing form, because contents are always necessarily realized in forms, and different contents entail different forms and vice versa”.
Konstruk kedua melahirkan pola pikir bahwa analisis wacana kritis meru-pakan theoritically bridge yang menghubungkan secara interpretatif antara dua sisi analisis fenomena sosial. Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi (level mikro) di satu sisi, dan institusi sosial, struktur sosial, serta ideologi sosial (level makro) pada sisi yang lain. Wacana dalam hal ini dipandang sebagai bentuk praktik sosial, perwujudan proses sosial, dan alat untuk mempela-jari perilaku sosial. Fairclough (1989:22) menyebutnya dengan istilah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif bahasa, situasi atau konteks, institusi, dan struktur sosial tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut Dijk (1998:4) menjelaskan beberapa sudut pandang menganalisis teks atau wacana, antara lain:
(1)Individu Kelompok: penggunaan bahasa yang disublimasikan dalam suatu wacana dipandang sebagai anggota dari sesuatu atau beberapa kelompok, organisasi, atau institusi sosial dan sebaliknya kelompok-kelompok ini dimanifestasikan oleh perilaku individu anggotanya;
(2)Tindakan Proses: prilaku atau tindakan sosial seorang aktor individual disikapi sebagai bagian atau konstituen dari perilaku kelompok dan proses sosial. Misalnya, melegalisasi, menyusun berita, atau mereproduksi rasisme;
(3)Konteks Struktur sosial: Situasi interaksi diskursif (partikular) dipandang sebagai sesuatu yang menyerupai atau konstitusi dari struktur sosial tertentu. Sebagai contoh konferensi pers, mungkin merupakan tipikal praktik suatu organisasi ataupun institusi media. Diasumsikan bahwa “konteks lokal” dan yang lebih global sangat berkaitan satu sama lain dalam konstrain wacana;
(4)Personal dan Kognisi Sosial: pengguna bahasa sebagai aktor sosial dipandang memiliki kognisi sosial dan personal sekaligus. Ingatan individu, pengetahuan dan opini yang saling dipertukarkan di antara anggota suatu kelompok atau budaya. Kedua garis kognisi ini mempengaruhi wacana dan interaksi individual sebagaimana “representasi sosial” mempengaruhi perilaku kolektif suatu kelompok.
Konstruk ketiga memunculkan pola pikir bahwa secara eksplanatif analisis wacana kritis dapat merekonstruksi kompleksitas proses-proses sosiokultural melalui fitur-fitur bahasa dalam suatu teks/wacana. Aktivitas ini dilakukan mela-lui mediasi konteks sosial (bandingkan: konteks budaya Malinowski, 1923). Hall (1986b:41) berpendapat bahwa ideologi (baca budaya) meresap dalam teks, sehingga (1) secara internal teks/wacana merupakan praktik diskursif sistem komunikasi verbal yang bersifat relatif, dan (2) secara eksternal direkonstruksi dan merekonstruksi realitas sosiokultural dalam berbagai formasi kehidupan penuturnya.
Fairclough dan Wadok (1997:271) dan Dijk (1998:2), menyebutkan prinsip-prinsip dasar analisis wacana kritis sebagai berikut. (1) Analisis wacana kritis memusatkan perhatiannya pada fenomena-fenomena sosial; (2) wacana merupakan konstituen sosial dan budaya; (3) wacana bekerja secara ideologis; (4) wacana berkaitan dengan kesejarahan; (5) teks merupakan mediasi hubungan sosial; (6) analisis wacana terdiri dari interpretatif dan ekplanatori; dan (7) wacana merupakan bentuk perilaku sosial.
Beberapa konstruk dan prinsip dasar analisis wacana kritis di atas, menjadi pijakan beberapa konsep penting tentang hakikat teks/wacana dan berbagai dimensi (internal/eksternal) yang melingkupi (1) teks dipandang sebagai fenomena linguistik yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau situasi tuturnya dan (2) fitur-fitur bahasa/linguistik dalam suatu teks merupakan suatu gejala-gejala bentuk formasi diskursif ideologikal (ideological- discursive formation). Pilihan masing-masing unsur kebahasaan dalam fragmen tekstual (level mikro) mencerminkan konsep ideologis (level makro) penuturnya (Dijk, 1986:233). Wacana merupakan “teks dalam konteks” (Wadok, 1996:14).




















(Diadaptasikan dari Dijk, 2003b:ii)
Ketiga analisis teks/wacana dilakukan secara simultan dan komprehensif terhadap tiga dimensi wacana, yaitu (1) dimensi linguistik, (2) dimensi wacana atau praksis wacana, (3) dimensi sosiokultural atau praksis sosiokultural (Fairclough, 1995:96).
(1)Dimensi linguistik, mencakup kosakata, tatabahasa, kohesi, koherensi, dan struktur teks;
(2)Dimensi wacana mencakup konteks situasi, dan konteks intertekstual;
(3)Dimensi sosiokultural mencakup naturalisasi dan hegemoni asumsi-asumsi sistem budaya (nilai,persepsi, dan orientasi).
Berangkat dari tiga dimensi di atas, Fairclough menegaskan bahwa kegiatan analisis tersebu bersifat dialektis atau interdiskursif yang dialakukan melalui tiga fragmen, yaitu (1) deskripsi, (2) interpretasi, dan (3) eksplanasi.







Analisis linguistik/teks
(deskripsi)


Analisis Kewacanaan
(Interpretasi)

Analisis Sosial
(Eksplanasi)


Dimensi Wacana Dimensi Analisis Wacana

(Diadaptasikan dari Fairclough, 1995:98)

Karakteristik Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa semata, tetapi lebih memandang wacana – penggunaan bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok minoritas dan mayoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Berdasarkan uraian di atas, Dijk, Fairclough, dan wodak, menyajikan karakteristik penting dalam Analisis Wacana Kritis, antara lain (1) tindakan, (2) konteks, (3) sejarah, (4) kekuasaan, dan (5) ideologi. Tindakan: wacana dipakami sebagai sebuah tindakan. Sebagai sebuah tindakan, wacana meruapak bentuk interaksi. Artinya, wacana bukan ditempatkan seperti ruang tertutup dan internal. Seseorang yang sedang melakukan aktivitas berbicara dan menulis bukan ditafsirkan sebagai ia berbicara dan menulis untuk dirinya, tetapi ia menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain.
Konteks: Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks, seperti latar, peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dipahami, dan dianalisis pada konteks tertentu. Konteks memasukkan semua situasi, dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi penggunaan bahasa, seperti partisipan, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari annalisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.
Sejarah: Analisis wacana kritis menempatkan penggunaan bahasa dalam konteks sosial tertentu. Salah satu aspek penting untuk dapat memahami teks adalah dengan menempatkan wacana dalam konteks sejarah tertentu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
Kekuasaan: Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan unsur kekuasaan (power) dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan dalam hal ini adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Kekuasaan di dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Bentuk kontrol terhadap wacana dapat bermacam-macam. Dapat berupa kontrol terhadap konteks, yang secara mudah dapat dilihat dari siapakan yang boleh dan harus berbicara, dan siapa yang harus mendengar, dan sebagainya.
Ideologi: teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Wacana dalam pendekatan ini dipandang sebagai media, bagaimana kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomu-nikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar.

Pendekatan Utama dalam Analisis Wacana Kritis
Ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis. Pendektan-pendekatan itu secara umum adalah (1) Pendekatan Analisis bahasa kritis (Critical Linguistic Approach) yang dikembangkan oleh Roger Fowler, Robert Hodge (1979); (2) Pendekatan Analisis Wacana Prancis (French Discourse Analysis Approach) yang dikembangkan oleh Sara Mills (1977); (3) Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach) yang dikembangkan oleh Teun Van Dijk, (1986); (4) Pendekatan Perubahan Sosiokultural (Sociocultural Change Approach) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough (1989/1995); dan (5) Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approach) yang dikembangkan oleh Ruth Wodak dan Martin Reisigl (2003).
Pendekatan Analisis Bahasa Kritis (Critical Linguistic Analysis) merupakan pendekatan yang banyak dipengaruhi teori sistematik tentang bahasa yang diperkenalkan oleh Halliday pada tahun 1970-an. Inti dari gagasan critical linguistic ini adalah melihat bagaimana gramatikal bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tatabahasa yang dipakai. Ideologi itu dalam taraf yang umum menunjukkan bagaimana suatu kelompok berusaha memenangka dukungan publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan lewat penggunaan bahasa. Bahasa dalam hal ini merupak suatu sistem kategorisasi, dimana kosakata tertentu dipilih yang akan menyebabkan makna tertentu.
Pendekatan Analisis Wacana Prancis (French Discoure Analysis) memandang bahasa dan ideologi bertemu dalam penggunaan bahasa dan meterialisasi bahasa pada ideologi. Dalam hal ini kata-kata dan makna yang digunakan menunjukkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui berbagai kelompok dan kelas sosial yang berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamnnya. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada efek ideologi dari formasi diskursus yang memposisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi sosial tertentu.
Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach) menekankan pada masalah etnis, rasialisme, dan pengungsi. Pendekatan ini disebut kognisi sosial karena pengembangnya, Van Dijk memandang faktor kognisi sebagai elemen penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dilihat dari strukturnya, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu diproduksi. Produksi wacana tersebut menyertakan suatu proses yang disebut dengan kognisi sosial. Dari analisis teks misalnya, dapat diketahui bahwa wacana cenderung memarjinalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi menurut Van Dijk, wacana semacam ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang memang berpandangan memarjinalkan kelompok minoritas. Oleh karena itu, dengan melakukan penelitian yang komprehensif mengenai kognisi sosial akan dapat dilihat sejauh mana keterkaitan tersebut, sehingga wacana dapat dilihat lebih utuh.
Pendekatan Perubahan Sosiokultural (Sociocultural Change Approach) memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Wacana dalam pendekatan ini dipandang sebagai praktis sosial. Dengan memandang wacana sebagai praktik sosial ada identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu. Memaknai wacana demikian, akan membantu menjelaskan bagaimana wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status qua dan mentransformasikannya.
Pendekatan Wacana Sejarah (Discaoure Historical Approach) dikembangkan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, rasialisme dalam media dan masyarakat kontemporer. Wacana ini disebut sejarah karena dalam analisisnya harus menyertakan konteks sejarah dalam menggambarkan kelompok atau komunitas tertentu. Misalnya, penggambaran tentang sesuatu yang buruk atau rasis dari suatu kelompok. Hal ini terjadi atau terbangun lewat proses sejarah yang panjang. Prasangka, bias, misrepresentasi, dan sebagainya harus dibongkar dengan melakukan tinjauan sejarah, karena prasangka itu adalah peninggalan atau warisan lama yang panjang.

Daftar Rujukan

Brown, Gillian dan Yule, George. 1984. Discaourse Analysis. Cambridge:Cambridge University Press.

Busri, Hasan. 1997. Dasar-dasar Linguistik. Malang: FKIP Universitas Islam Malang.
Busri, Hasan. 2003. Sintaksis Bahasa Indonesia. Malang: FKIP Universitas Islam Malang.
Busri, Hasan. 1997. Analisis Wacana: Teori dan Penerapannya: FKIP Universitas
Islam Malang.
Busri, Hasan. 2003. Bahasa Indonesia Laras Hukum. Jurnal Ilmiah Buana, Edisi XX Tahun 2000. Universitas Islam Malang.
Busri, Hasan. 2006. Analisis Wacana Kritis: Pengantar Memahami Bahasa secara Makro. . Jurnal Ilmiah Buana, Edisi XXXI Tahun 2006 Universitas Islam Malang.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton
Moliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia
Atmajaya.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 1997. PELLBA 10 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya Kesepuluh.. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 1997. PELLBA 6 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya Kesepuluh.. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atmajaya
Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.

Dijk, Teun A. Van. 1998. Ideology: A Multidiscilinary Study. London: Sage
Publication.

Dijk, Teun A. Van. 1998. News as Discourse. Hillsdale. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates.

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London: Edward Arnold.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis. London; Longman.

Fairclough, Norman. 1998. “Political Discourse in the Media: An Analytical
Framework”. Dalam Allan Bell dan Petter Garrett (ed.). Approach to
Media Discourse. Oxford: Blackwell Publishers.

Fairclough, Norman dan Wodak, Ruth. 1997. “Critical Discourse Analysis”.
Dalam Teun A. Van Dijk (ed.). Discourse as Social Interaction:
Discaourse Studies a Multidisciplinary Introduction, Vol 2. London:
Sage Publication.

Fauler, Roger. 1996. “On Critical Linguistics”. Dalam Garmen Rosa Caldas-
Coulthard dan Malcolm Coulthard (ed.), Text and Practices
readings in Critical Discaourse Analysis. London and New York:
Routledge.

Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotics. London: University Park Press.

Halliday, M.A.K. Hasan R. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.

Hymes, D. 1973. Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung:Angkasa.

Mills, Sara. 1997. Discourse. London and New York: Routledge.

Nurhadi (Eds). 1987. Kapita Selekta kajian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. Malang:Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Malang.

Purwo, Bambang Kaswanti (Eds). 1993. Pelba 6. Jakarta:Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.

Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. USA: Blackwell Publisher.

Stubbs, M. 1983. Discourse Analysis. Chicago: The University of Chicago Press.

Suhaebah, Ebah dkk. 1996. Penyulihan sebagai Alat Kohesi dalam Wacana. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Wahab, Abdul. 1988. Linguistik: dari Pra-Sokrates ke Pragmatik. Malang: Penyelenggaraan Pendidikan Pascasarjana Proyek Peningkatan/ Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Malang.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.

1 komentar:

  1. Assalamu alaikum !
    Bagaimana kabar Bapak bersama keluarga ? Pak ...Saya adalah salah seorang mahasiswa bapak dari prog.pasca sarjana unisma malang kelas c.Tolitoli Sulawesi tengah
    Saya sangat terkesan dengan mata kuliah yang bapak ajarkan Met.Pen.Kuantitatif, Maaf sedikit melenceng dari topik yang ada dalam blog ini, maklum masih perlu banyak belajar, saya mengusulkan satu judul proposal penelitian " Intervensi guru dilarang memaharahi murid pada pelajaran bahasa Indonesia kelas IV B SDN Percontohan Tolitoli " Apakah judul ini sudah termasuk jenis kuantitatif atau harus diubah lagi, mohon penjelasan. wassalamualaikum ...

    BalasHapus